Mohon tunggu...
Evi Dwiningtias
Evi Dwiningtias Mohon Tunggu... lainnya -

aku hanya seorang penulis pemula yang mencoba berkarya. mohon kasih saran dan kritiknya ea ^^

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Antara Cinta dan Benci (23)

20 Juni 2012   22:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Stevan berjalan cepat menghampiri sebuah rumah, rumah Rina. Dua hari ia mencari gadis itu tapi tak kunjung bertemu. Akhirnya Stevan memutuskan untuk menemuinya di rumah Rina.

Tok tok tok. Tangan kekar Stevan perlahan mengetuk pintu rumah berwarna coklat tua. Tak ada jawaban. Ia mengulanginya lagi. Derap langkah seseorang yang terdengar dari dalam rumah membuat hati Stevan sedikit lega.

Ceklek. Sayangnya, yang muncul tak sesuai apa yang diharapkannya. Bi Feli, pembantu Rina yang membukakan pintu.

“Oh, Den Stevan? Cari Non Rina?” ujar pembantu berumur tiga puluh lima tahun itu.

Stevan mengangguk. “Rina ada, Bi?”

“Masuk dulu, Den.” Tanpa menjawab pertanyaan Stevan, Bi Feli menyuruhnya masuk. Stevan menurut dan mengekori Bi Feli. Sesampainya di ruang tamu, Bi Feli meminta Stevan untuk duduk dan menunggu. Dalam kurun tiga menit Bi Feli kembali menemuinya dengan membawa sebuah amplop putih. Stevan mengernyit heran.

“Ini dari Non Rina, Den,” ujar Bi Feli menyodorkan amplop putih di tangannya pada Stevan.

“Apa ini, Bi?” tanya Stevan.

Bi Feli menggeleng. “Tidak tahu, Den. Kemarin Non Rina menitipkan ini pada Bibi. Katanya kalau Den Stevan datang suruh memberikan ini pada Aden.”

“Dimana Rina?”

“Non Rina pergi, tapi dia tidak bilang pergi kemana. Seluruh bajunya dibawa.”

“Apa?” Stevan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Bergegas ia merogoh saku kananya dan mengambil HP-nya. Jarinya bergerak lincah memencet sebuah nomor lalu ia dekatkan di telinganya. Dua kali terdengar nada sambung, tapi hilang begitu saja. Rina telah memutus teleponnya. Stevan tak patah semangat. Ia mencoba menghubungi lagi. Namun, nihil. Kemana kamu sebenarnya, batin Stevan resah. Amarah dan rasa kesal pada gadis itu sirna begitu saja berganti rasa cemas.

***

Deni duduk di hamparan rerumputan hijau pada tempat favoritnya, lapangan dekat rumahnya. Tempat pertama kali ia bertemu dengan Aghni. Hembusan napas panjang  keluar saat Deni memikirkan gadis itu. Ada yang susah ia pahami tentang gadis berambut panjang itu. Gadis sederhana namun penuh pesona. Terlalu sayang untuk disakiti, tapi Deni telah memilih langkahnya sendiri. Ia memilih untuk menyirnakan rasa ketertarikannya pada Aghni. Deni tidak mau menjadi lembek hanya karena perasaannya itu.

Akan tetapi, cinta bukanlah barang yang mudah untuk disingkirkan. Semakin lama Deni mencoba untuk melupakan, ia semakin sulit untuk melepaskan. Bukan ia yang memilih cinta, tapi cintalah yang menentukan keterpautan hati yang layak untuknya.

Andai saja kamu tidak ada hubungannya dengan Rando, mungkin hubungan kita tidak akan seperti ini, batin Deni. Sepasang mata menatap lurus ke depan, kosong tak menyiratkan apapun.

“Ternyata kamu masih suka berada di sini.” Deni tersadarkan oleh sebuah suara merdu dari arah belakang tubuhnya. Ia menoleh, mendapati seorang gadis berkuncir ekor kuda tersenyum padanya.

“Kamu sudah kembali rupanya,” balas Deni. Gadis itu semakin menarik keatas ujung bibirnya dan bergerak dengan duduk di samping Deni.

“Ya, dua jam lalu aku sampai. Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku….?”

“Itu mudah,” potong Deni.

Gadis itu menatap kosong ke depan dan mengangguk membenarkan ucapan Deni. “Benar, sangat mudah untuk seorang pemilik perusahaan property yang masih berusia delapan belas tahun.”

“Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?” tanya Deni.

“Sangat menyenangkan. Nyaris tanpa gangguan dari kalian berdua,” sindir sang gadis.

Deni membulatkan mulutnya. “Oh, padahal tadinya aku mau menyusul. Aku berharap bisa date denganmu di sana.”

“Date?” Alis gadis itu terangkat sebelah. “Ini cuma permainanmu, bukan? Dan sepertinya kamu sukses memenangkannya.”

Agaknya ucapan gadis itu tepat pada sasaran. Deni membelalak. “Kamu…?”

“Aku sudah tahu semuanya, Den. Kamu tidak perlu berpura-pura di depanku lagi.” Ada getir luka saat gadis itu berujar. Sorot kesedihan terlihat jelas di matanya. Sungguh disesalkan perasaan tulusnya harus terbalas oleh kenyataan bahwa semua yang ia dapat itu hanya permainan.

Deni pintar memainkan emosinya. Dalam hitungan detik keterkejutan hilang dari raut wajahnya. “Bagaimana kamu tahu?”

“Calista sudah bercerita padaku ketika malam acara itu beberapa hari lalu.”

Badan Calista bergetar hebat. Gejolak tak menentu menyerangnya. Membuat gadis bertubuh ramping itu gugup, berkeringat dingin bahkan nyaris tertekan. Ia mengorek-ngorek isi dalam tasnya, menumpahkan seluruh isinya di atas lantai toilet sekolah yang sepi. Semua barang miliknya berceceran. Dan mata indah gadis itu menemukan apa yang ia cari saat itu juga. Sebuah botol berbentuk tabung kecil. Ia meraihnya dan membuka isinya. Butiran tablet berwarna kuning berceceran di lantai akibat ia membuka terlalu cepat. Calista tak mempedulikannya. Gadis itu hanya ingin segera memasukkan sebuah tablet ke dalam mulutnya. Dan itu berhasil. Rasa tenang menjalarinya dalam hitungan detik kemudian. Ya, tidak heran. Itu memang gunanya obat yang ia makan barusan.

“Calista!” pekik seorang gadis dengan sebelah tangan menutup mulut. Calista menoleh terkejut.

“Ag…Aghni!” gumamnya.

“Kamu make?” Satu hal yang dapat Aghni simpulkan atas apa yang dilihatnya. Ia langsung mengutarakannya. Sedikit heran, seorang Calista yang notabene gadis terpopuler di sekolahnya mengkonsumsi obat-obatan penenang.

Calista tergugup memandangi seluruh isi tasnya yang berceceran di lantai. Terlambat untuk menghilangkan bukti. Sudah kepalang basah, ia sudah ketahuan. Calista menunduk lemah dan berucap satu buah kata dengan lirih. “Ya.”

“Kenapa?” Aghni mendekat, menatap sayu sosok Calista.

Calista bukannya segera menjawab malah tertawa sinis. “Kalau kamu jadi aku, mungkin kamu akan berbuat sama.”

“Tidak! Aku tidak akan pernah berpikiran sependek itu,” bantah Aghni.

“Benarkah?”

“Ya,” ucap Aghni penuh keyakinan. “Hidupmu nyaris sempurna, mana mungkin aku akan melakukannya jika hidupku sesempurna hidupmu.”

“Sempurna?” Calista tersenyum pahit. “Menurutmu begitu? Hidupku nyaris buruk!” Aghni mengernyit, tak menduga akan mendapatkan jawaban seperti itu dari Calista. Ia ingin membuka mulutnya kembali, tapi urung ia lakukan karena Calista melanjutkan ucapannya. “Kamu tahu, semua orang yang ada di sekitarku itu palsu. Ya, sikap mereka, perlakuan mereka, perhatian mereka itu palsu. Mereka hanya sedang menjilat untuk mendapatkan kemewahan dariku.”

“Setidaknya kamu punya orang tua lengkap.” Aghni mengatakan itu dengan kepala tertunduk. Dia memang selalu iri pada Calista yang berorang tua lengkap.

“Orang tua lengkap? Persetan dengan itu!” umpat Calista. “Aku lebih baik tidak punya orang tua!”

“Harusnya kamu bersyukur….”

“Mereka tidak pernah ada untukku, apa yang patut disyukuri dari kedua orang tua yang selalu sibuk mengurusi bisnisnya sementara anaknya ditelantarkan begitu saja?” potong Calista. Aghni terdiam. “Mereka tidak mempedulikanku. Di saat anak-anak lain merayakan hari-hari terpenting dalam hidupnya bersama keluarga mereka, aku melakukannya dengan seorang diri. Kamu tahu siapa yang memberi ucapan pertama kali di saat ulang tahunku? Mbok Husna, pembantu yang mengurusku sejak kecil. Dia yang bukan siapa-siapaku. Dan orang tuaku? Mereka jadi yang terakhir, itu pun satu hari kemudian jika mereka masih ingat.”

“Tapi kamu masih memiliki…”

“Sahabat? Mereka munafik. Baik di depanku dan ketika di belakangku? Mereka mengumat, menganggap aku seperti musuh.”

“Kamu masih punya Deni, dia mencintaimu.”

“Deni? Oh, tidak! Aku hampir melupakannya. Dia pacarku sekarang,” ujar Calista sarkastis.

“Ya, dia ada di sisimu,” ucap Aghni membenarkan.

“Dia hanya menganggap sebagai alat untuk menyukseskan aksi balas dendamnya.”

“Apa?” pekik Aghni.

“Ya, kamu harus tahu itu, Aghni. Dan perlu kamu tahu… kamu pun tak ubahnya seperti aku. Ya, kita sama baginya. Kita hanya alat untuk menyukseskan aksi balas dendamnya pada keluarga Rando.”

Bukan main terkejutnya Aghni. Ia tak habis pikir akan mendapatkan jawaban seperti itu dari Calista. Dan pada menit-menit berikutnya rasa terkejutnya semakin memuncak. Kenyataan-kenyataan yang diungkap Calista membuat hati Aghni hancur. Calista menceritakan semua yang diketahuinya tentang Deni. Semua termasuk masa lalu pria itu.

“Ke… kenapa dia melakukan itu?” gumam Aghni tak percaya saat Calista mengakhiri ceritanya tentang Deni.

Calista tersenyum kecut. Ia menepuk bahu Aghni dan membisikkan beberapa patah kata pada gadis berkulit gelap itu. “Untuk hal itu, lebih baik kamu menanyakan sendiri pada yang bersangkutan.”

“Jadi begitu,” gumam Deni mengerti. Harusnya ia sudah dapat menduganya karena hanya Calista dan Jefri yang mengetahui seluk-beluk hidupnya.

"Ini tidak akan membuatmu bahagia. Apa benar ini yg kamu harapkan?" tanya Aghni kemudian. Deni memalingkan wajahnya. Tak mau Aghni menangkap ekspresi di wajahnya. “Balas dendam tak akan membuatmu bahagia,” lanjut Aghni.

“Mereka patut mendapatkannya, atas apa yang mereka perbuat pada hidupku,” bantah Deni. “Termasuk atas apa yang terjadi pada papaku. Dia mati gara-gara wanita itu!” Kini sorot kebencian terlihat di mata Deni.

"Papamu tak akan kembali... dia juga tidak akan bahagia melihatmu seperti ini!"

"Semua sudah terlambat!" tandas Deni.

***

Semua berjalan lancar. Apa yg kurencanakan nyaris sempurna berhasil. Mereka terpuruk sekarang. Tapi... itu semua tak membuatku bahagia sedikit pun. Aku tak bahagia. Ya, seperti yang dikatakannya tadi.

"Ini tidak akan membuatmu bahagia. Apa benar ini yang kamu harapkan?"

Shit! Dia benar. Bukan...bukan ini yang aku harapkan.

"Papamu tak akan kembali... dia juga tidak akan bahagia melihatmu seperti ini!"

Kata-katanya terus saja terngiang dlm benakku.

"Semua sudah terlambat!" tandasku.

"Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki, Den.. ini belum terlambat."

Hhh. Aku tersenyum kecut mengingat ucapannya itu. Memperbaiki katanya? Tidak akan ada yang perlu diperbaiki!Hanya satu hal yang perlu kuperbaiki. Kesalahanku karena melibatkannya. Ya, hanya itu yang perlu kuperbaiki. Dan aku akan membuat semua kembali baik.

***

Ia sudah memutuskan. Dan semua hal yang telah ia miliki akan dipertaruhkan disini. Memiliki apa yang ia inginkan sejak dulu tidak juga membuat hidupnya lengkap. Alih-alih hidupnya terasa kosong. Ia masih sendirian dan kesepian. Tak ada gunanya bukan memiliki segalanya tapi hati masih terasa kosong?

Di malam Sabtu seperti biasa, Jalan Pahlawan terlihat ramai. Di atas sana bulan purnama menggantung pada titik tertinggi. Menyinari segala sisi gelap malam. Anak-anak muda yang berkumpul bergerombol tak luput dari sinarnya. Mereka tidak sedang menikmati sinar purnama yang indah. Tapi mereka sedang bercenkerama, sekedar membuang waktu dan kebosanan. Dan disana Deni turut hadir. Ia bersama Jefri dan teman-temannya saling berkumpul di pinggir jalan. Duduk di atas tikar yang digelar oleh penjual nasi kucing langganan mereka.

Deni tak terlihat gembira seperti yang lainnya. Dan itu terbaca jelas oleh Jefri.  Meski mereka belum kenal lama tapi kebersamaan dan kerjasama mereka yang terbilang rutin membuat Jefri dapat membaca suasana Deni dengan baik. Lelaki berambut spike itu sedang tak tenang. Deni mengutak-atik HP-nya sedari tadi. Satu helaan napas membuat ia mantap untuk melakukan apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Ya, aku harus melakukan ini segera. Tak butuh waktu lama, jemari Deni dengan lincah memencet beberapa nomor. Lalu ia menempelkan HP-nya itu di dekat telinga. Nada sambung terdengar teratur.

Jefri terdiam mengamati apa yang dilakukan sahabatnya. Ia menunggu sampai Deni memutuskan untuk memberitahunya sendiri. Ia tak mau memaksa.

“Rando?”

Kening Jefri mengernyit saat Deni menyerukan sebuah nama yang taka sing untuknya. Untuk apa dia menghubunginya? Pikir Jefri. Rasa penasaran muncul dalam benaknya. Tapi ia tetap menunggu Deni selesai dengan aktivitasnya itu. Jefri tak mau mengganggunya dulu. Telinganya sengaja dipekakan agar dapat mendengarkan pembicaraan Deni dengan seksama.

“Bisa kamu ke sini? Ada yang harus kita selesaikan saat ini juga… Apa kamu tak mau merebut apa yang sudah aku ambil dari hidupmu? Dari hidup keluargamu? …. Ya, aku punya penawaran…. Baik, aku tunggu.”

Deni mengakhir pembicaraannya dengan Rando ditelepon. Senyum pahit terkembang di bibirnya. Tanpa menunggu lagi, Jefri bersiap mengutarakan rasa penasarannya.

“Kenapa kamu menghubungi Rando? Apa yang kamu rencanakan saat ini?” tanyanya.

“Hanya ingin bertaruh dengannya saja,” jawab Deni singkat.

“Bertaruh apa?”

“Sesuatu yang sudah aku ambil darinya. Bahkan mungkin semua akan aku pertaruhkan.” Mata Deni menatap kosong ke depan.

“Termasuk Aghni?” tebak Jefri. Deni mengangguk pelan. “Baik, aku akan persiapkan semua.” Sedikit pun Jefri tak mencegah keputusan Deni itu. Ia tak mampu berbuat apa-apa lagi. Itu adalah hidup Deni dan dia tak punya andil untuk turut campur.

***

Satu jam kemudian lima orang lelaki seumuran Deni datang dengan motor sport mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka sudah dapat dipastikan adalah Rando. Ia turun dari motornya dan langsung melayangkan bogem mentah pada Deni. Alhasil Deni tersungkur di aspal dengan sudut bibir berdarah. Bukannya membalas, Deni malah tersenyum kecut.

“Itu balasan atas apa yang sudah kamu perbuat pada keluargaku!” bentak Rando.

Deni terlihat cuek saja. Ia bangkit berdiri, mengusap sudut bibirnya kasar. “Kamu bisa mendapatkannya lagi kalau kamu berhasil mengalahkanku!” tantang Deni.

“Baik, kapan?”

“Sekarang!”

***

"Satu putaran. Jika kau menang aku akan melepaskannya. Tapi jika kau kalah… jangan pernah berharap bisa mendapatkannya kembali!"Ini adalah sebuah taruhan. Dia atau aku. Sang pemenang akan mendapatkan semuanya.

***


Mereka berdua menaiki motor masing-masing. Memegang kendali atas nasib yang akan terjadi pada mereka. Deru mesin motor mereka berdua bersautan dengan teriakan muda-mudi yang menjadi penonton. Seorang lelaki maju ke depan, tepat di tengah-tengah. Kedua tangannya terangkat ke atas.

“Ready…. Go!”

Kedua motor melesat kencang ke depan. Saling tak mau kalah dan tak mau terdahului. Namun, motor merah lebih unggul melaju. Yang hitam tertinggal di belakang dalam jarak tipis. Kecepatan masing-masing tak henti ditingkatkan. Dari jalur lurus berubah menjadi berkelok dengan sisi kiri berupa jurang curam. Salah sedikit bukan hanya sekedar harga diri yang terhina tapi nyawa juga menjadi taruhannya.

Aku tak pernah kalah! Gumam Deni dalam hati. Ia masih memacu kendaraan merahnya berada di posisi terdepan. Dari spion motornya terlihat Rando membayanginya. Tak boleh ada kesalahan sedikit pun.

Semua dipertaruhkan disini, aku tak boleh kalah! Rando menggas motornya lebih dalam. Alhasil motor sport hitamnya membelah angin dengan cukup cepat. Ia tak peduli dengan bahaya yang mengancam di sekelilingnya. Yang menjadi focus utamanya hanya satu, mendahului Deni dan menjadi pemenang.

Tanpa terasa lintasan yang mereka berdua lalui tinggal seperempat lagi dan mereka akan segera mencapai finish. Posisi masih sama, Deni lebih unggul. Rando menunggu celah untuk menyalip, tapi tak kunjung didapatnya. Deni seperti seorang pembalap handal. Lintasan berkelok dan dikelilingi jurang curam tak membuatnya kesusahan sama sekali. Berbeda dengan Rando. Ini pertama kalinya ia beradu balap di lintasan pegunungan.

"Ini tidak akan membuatmu bahagia. Apa benar ini yang kamu harapkan?"

Tiba-tiba kata-kata Aghni terlintas begitu saja dalam benak Deni. Apa aku bahagia? Apa ini yang aku harapkan? Batin lelaki berambut spike itu bergejolak tak menentu. Terbesit keraguan di sana.

Jika waktu dapat berputar kembali, Deni ingin mendapatkan kehidupan dan keluarga yang normal serta harmonis layaknya keluarga lain pada umumnya. Ia ingin hidup bersama kedua orang tua dan saudaranya. Ya, seperti ketika ia masih berumur lima tahun dulu. Saat semua masih terlihat bahagia dan rukun.

Akan tetapi, kenyataan yang ada tidaklah seperti itu. Kedua orang tuanya telah bercerai, mereka terlah berpisah. Begitu pula dengan ia dan saudara kandungnya. Mereka tak lagi bersama Deni. Bahkan menghubungi Deni pun tidak. Saat memikirkan segela keburukan yang menimpanya, rasa benci dalam diri Deni kembali muncul. Buru-buru ia singkirkan rasa bersalah dan keraguan di hatinya.

Mereka pantas mendapatkannya! Ya, itu pantas untuk mereka!

Apa aku akan kalah? Rando hampir putus asa karena tak kunjung dapat mendahului Deni.

"Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki, Den.. ini belum terlambat."

Lagi-lagi ucapan Aghni melintas dalam pikiran Deni. Arrgghh, aku tidak bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun