Mohon tunggu...
Evi Dwiningtias
Evi Dwiningtias Mohon Tunggu... lainnya -

aku hanya seorang penulis pemula yang mencoba berkarya. mohon kasih saran dan kritiknya ea ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka-luka Yang Tergores

18 Februari 2012   17:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa itu arti menghormati dan menghargai orang lain? Seperti inikah? Pikirku melayang ke langit biru nan luas. Di depanku berdiri sederet manusia – lelaki dan perempuan – memakai kaos dan celana panjang olahraga. Aku bergerak. Mereka ikut bergerak. Mereka mengikutiku. Meski tak sepenuhnya begitu. Hanya beberapa gerakan yang mereka rasa menyenangkan untuk diikuti. “Ayo, lari lima kali putaran!” teriakku. Cukup keras untuk sampai di telinga mereka. aku beranjak dari tempatku. Memutar badan lalu berlari. Menelusuri sepanjang koridor kelas bagian tengah. Dari bawah naik ke atas. Berkeliling. Mereka mengikuti dengan setengah hati. Napasku terengah. Bukan hal mudah untuk wanita seusiaku melakukan ini. Kekuatanku sudah tak seperti dulu saat aku remaja. Aku hampir tercekit oleh oksigen yang mendesak masuk bersamaan dengan kerbondioksida yang keluar melalui rongga hidungku. Bisa pingsan aku. Ah, tidak. Aku bisa. Tidak boleh pingsan di depan mereka. Itu memalukan. Berulang kali aku memotivasi diriku sendiri. Sesekali aku menepuk bahu mereka – lelaki dan perempuan muda tadi – yang kelelahan dan menghentikan larinya.

“Ayo! Semangat!” Teriakku keras. Entah menyemangati mereka atau menyemangati diriku sendiri. Tapi itu percuma, mereka pergi meninggalkanku dan kembali ke tengah lapangan. Padahal baru tiga kali putaran. Aku melanjutkan sendiri. Miris. Sebuah luka tergores disini. Di hatiku. Dianggap apa aku ini? Hah! Aku memang bukan siapa-siapa mereka. Apa aku punya hak memerintah mereka? Aku tak punya jabatan apapun di mata mereka. Siapa kamu Rena? Seruku dalam hati. Dengan lemah, aku kembali ke lapangan. Tentunya setelah kuselesaikan lima putaranku. Aku harus konsisten.

Acara inti dimulai. Dengan cepat kucoba memutar kembali memori gerakan yang kuingat. Tidak sepenuhnya berhasil aku ingat. Hanya sebagian kecil. Dan aku terlihat buruk bukan kerena itu? Mereka mengeluh. Bertindak sesuka hati mereka. Jadi aku tidak dianggap di depan sini? Hey, kamu siapa Rena? Kembali aku menyadarkan diri. “Oke. Sudah cukup. Mau pulang tidak?” Ini teriakan atau bentakan? Entahlah. Aku sudah tidak peduli lagi. Kecewa mengalir dalam pembuluh darahku. Akan aku ingat baik-baik ini. Sebuah harga mati untuk keramahan yang berusaha kulukis.

***

Keadilan? Dimanakah itu? Apa kasih sayang yang mereka bagi itu adil? Kini aku tersudut pada salah satu sisi kamarku. Meringkuk. Memeluk kedua lututku. Butir bening mengucur dengan deras dari kelopak mataku. Tanpa henti. Entah sejak kapan. Yang aku ingat adalah ketika luka itu menyayatku. Perih.

“Kakakmu. Entah apa yang sudah dilakukannya?” Wanita paruh baya di depanku menunduk lemah. Matanya berkaca-kaca. Ada seburat kesedihan yang kutangkap dari pancaran matanya. Aku tahu dia menanggung beban yang berat. “Memang kenapa, Ma?” Kucoba mengorek beban yang ditanggungnya. “Dia menangis di telepon. Meminta uang. Lima juta. Apa yang sudah dia lakukan?” Wanita itu menghela napas. Sesak. Aku ikut merasa. “Mungkin benar dia berjudi. Tadi Mama menemukan beberapa lembar kertas catatan nomor,” jelasnya. Astaga, ulah apa lagi yang dia lakukan! Seruku dalam hati.

“Di tabunganmu ada berapa, Ren?” tanyanya. “Sedikit, Ma. Satu juta mungkin. Di rumah juga ada yang kusimpan. Empat ratus ribu,” terangku datar. Aku menyimpan kekalutanku dalam hati. “Nanti kau pakai uangmu dulu untuk membayar cicilan bulan depan,” pintanya. Aku mengangguk pelan. Sepertinya aku harus mengenyahkan mimpiku untuk memiliki barang yang sejak dulu aku inginkan. Dia kembali terduduk lesu. Aku tahu dia begitu menyayanginya. Sampai-sampai membuatku iri. Aku selalu mencoba menjadi yang dibanggakan tapi tak pernah dilihatnya. Hanya keburukanku yang diingat.

“Lebih baik kau tak usah kuliah dulu. Hanya membuang-buang uang saja. Coba kalau dulu langsung bekerja. Uangmu sudah banyak sekarang.” Cercaan itu sudah amat lekat di telingaku. Aku sudah hafal. Namun, tetap saja aku terluka. Padahal setiap aku mendapat uang dari hasil keringatku, sebagian kuserahkan kepadanya. Apa itu tidak dilihat?

Sedangkan dia – lelaki yang lebih tua dua tahun dariku – itu, apa yang dilakukannya? Seperser pun tak ada. “Mana? Kau gajiankan hari ini? kapan kau akan mengembalikan uangku?” Kalimat-kalimat itu selalu kulontarkan untuknya saat di tanggal tua. Tepat saat dia gajian. “Nanti. Aku sedang tak punya uang!” balasnya. Ah, percuma bicara dengannya. Aku lelah.

Kenapa lelaki pembuat masalah seperti dia lebih disayangi? Apa aku harus seperti itu juga? Adilkah ini?

****

“Sudah biarkan saja. Itu hanya orang iseng yang mencoba menghancurkan ketentraman keluarga kita.” Begitulah yang dia katakan tiap kali sebuah sms mesra masuk ke dalam handphonenya. Benarkah itu? tanyaku dalam hati. Wajahnya terlihat datar. Tak ada getir cemas atau khawatir ketahuan. Apa dia bisa kupercaya lagi? Aku pun ikut acuh. Dalam hati aku tak pernah mempercayai ucapannya. Apapun itu. tak pernah lagi. Luka itu masih kuingat jelas. Tak bisa kulupakan. Kepercayaan puluhan tahun yang kuberikan sirna. Bahkan kebanggaanku kepadanya hancur.

“Apa-apaan kau ini? Apa yang kau katakana pada mamamu?” Seorang lelaki paruh baya berdiri di hadapanku. Matanya tajam. Tak lagi hangat seperti biasanya. “Jangan bicara sembarangan!” bentaknya.

“Itu memang benar. Apa yang kukatakan itu benar!” Aku tak mau kalah. Meski aku tahu bisa dianggap durhaka bila meneriakinya. Aku tak peduli. “Dasar!” Dia melayangkan tangan kanannya. Tak sampai mendarat di pipi. Hampir saja. Dia menghentikannya. Aku tahu dia akan menamparku. Tujuh belas tahun aku mengenalnya, baru kali ini dia melakukannya. Dia akan menamparku hanya karena wanita jalang itu? Aku…anak yang paling disayanginya. Pedih. Kugigit bibir bawahku. Menahan air mata yang memberontak untuk keluar. Aku tak boleh manangis di depannya.

Apa itu setia? Seperti itukah kesetiaan? Dia telah buta. Bahkan mencampakan adikku yang sedang sakit. Mama pun hampir ingin bunuh diri. Dan aku muak berada di rumah yang lebih mirip neraka dunia bagiku. Ini semua karena Wanita jalang itu! Akan kubunuh dia bila bertemu denganku, umpatku kesal.

***

“Apa benar hubunganmu dengannya telah berakhir?” Aku mempertanyakan secara langsung padanya. Pria yang lebih cocok menjadi adikku itu. Dia tersenyum. “Tentu saja,” jawabnya meyakinkan. Tak ada getir kebohongan.

“Lalu apa yang kulihat di akunmu itu? Mesra sekali!” sindirku. Apa dia bisa mengelak sekarang. Aku punya bukti jelas. “Itu bukan aku. Itu Richie yang memakai akunku. Kau tahukan aku sudah punya akun baru. Yang lama dipakai Richie, adik sepupuku,” elaknya.

“Benarkah? Kau tahukan aku tidak suka dibohongi. Bahkan dikhianati. Aku sudah pernah menceritakannya padamu!” ancamku kemudian. Dia mengangguk mengerti. Dia harus mengingat itu. Lalu apa kemudian harinya? Dia memang berbohong kepadaku. Diam-diam aku mengikutinya. Kukumpulan sebanyak mungkin bukti. Sakit yang kurasa ketika melihat mereka mesra tak kuhiraukan. Luka itu menumpuk sampai aku tak bisa merasakan rasa sayangku untuknya. Lihat saja, akan kubuat kau merasakan luka yang sama, janjiku dalam hati. Dan benar saja.

“Kembalilah padaku. Aku tak mau kehilanganmu, Ren,” ujarnya. Memohon-mohon dengan derai air mata. Hah, dia menangis. Sesayang itukah kau padaku? Sampai-sampai kau mengkhianati kepercayaanku selama ini? seruku dalam hati. “Tidak! Aku tidak mau kembali padamu. Kau sendiri yang memilih jalan ini. Bukankah sejak awal sudah aku katakan, kau tidak akan mendapatkan perlakuan yang sama dariku jika kau mencampakanku. Dan lihat. Kau telah mencampakanku,” ucapku tegas. Kusirnakan getar kesedihanku. Lukaku mengangah lebar. “Aku mohon, Ren. Aku tak akan melakukannya lagi. Aku sungguh-sungguh mencintaimu,” pintanya lagi. Kupalingkan wajahku. Eneg aku melihatnya. Memandang setiap kebohongan yang dia lakukan membuatku ingin muntah. “Pergi! Aku tak mau melihatmu lagi! Dia lebih baik dari kau!” bentakku.

Aku terlihat jahat sekarang. Tapi itulah konsekuensinya jika sudah membuatku terluka. Rena itu pendendam. Ingatkah kau pada sifatku itu?

***

Kutatapi gadis berparas ayu yang tergolek diatas pembaringan UKS. Sudah 30 menit dia tak sadarkan diri. “Errgh” Dia mengerang pelan. Badannya bergerak. Matanya mengerjap terbuka. “Dimana aku?” tanyanya bingung.

“Kau di UKS, Rin. Tadi kau pingsan,” jawabku. Dia mencoba bangkit untuk duduk. Kepalanya menunduk lesu. “Aku pingsan lagi?” gumamnya. Aku mengangguk mengiyakannya. Sedih melihatnya seperti itu. Erin – sahabatku – memang sering pingsan. Sejak dulu aku pertama kali mengenalnya. Tepat saat menginjak bangku menengah pertama. Dulu aku mengira karena fisiknya yang lemah. Tapi setelah aku mengenalnya dekat, bukan karena itu. Dugaannya karena seseorang yang tidak suka pada keluarganya yang membuatnya begitu. Orang itu ‘mengerjainya’. Entahlah itu benar apa tidak.

“Aku capek, Ren. Orang-orang memandangku sebagai gadis yang sakit-sakitan,” keluhnya ketika kami duduk berdua menikmati kesejukan di teras mushola sekolah.

“Cobalah periksa ke dokter, Rin,” saranku. Erin menggeleng. “Mungkin bukan seperti itu. Mungkin kau memang sakit,” sambungku. Dia diam. “Kau mau aku menemanimu?” tanyaku. Mungkin saja dia takut ke dokter sendirian. Erin menggeleng lagi.

Tidak tega rasanya melihat sahabatku itu bersedih. Sayang, aku tak mampu berbuat apa-apa. Cuma menyemangatinya saja yang kubisa.

***

Aku berjalan di tengah orang-orang berpakaian rapi. Mereka tampak angun dengan pakaian bermerk. Ditambah dengan aksesoris yang melingkar pada beberapa bagian tubuh mereka, semakin mempercantik paras mereka. Aku terlihat kecil. Mereka memancarkan sorot mata sinis. Seakan-akan aku ini makhluk hina yang tak seharusnya berada di tengah-tengah mereka.

Kukumpulkan segenap keberanian untuk tetap bertahan. Ini bukan soal materi, tapi kemampuan. Akan aku buktikan bahwa aku layak berada disini. Segala pandangan merendahkan itu kuacuhkan. Berbagai macam halangan kutampis sekuat tenaga. Aku berusaha keras untuk mencapai puncak agar dapat diakui. Tapi selalu ada yang lebih baik dari yang terbaik. Aku kalah. Kembali merasa kecil. Terkucilkan. Sendirian. Sesak rasanya berada di tengah-tengah mereka – yang memandang remeh seorang Rena.

@The-End@

Apa ini cerita? Yah, ini memang kumpulan cerita. Luka-luka yang tergores dari orang-orang yang tersudut disisi keterpurukan hidup. Jangan pernah merasa kau makhluk paling menderita di dunia ini. Karena selalu ada orang-orang yang lebih menderita dari dirimu. Syukurilah apa yang kau dapatkan. Lewat berrsyukur, Tuhan akan menambah nikmat kita.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun