Mohon tunggu...
Hendri Nurwanto
Hendri Nurwanto Mohon Tunggu... -

saya guru biasa guru biasa saya biasa saya guru guru saya biasa saya biasa guru biasa guru saya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KOMPETITIF LEARNING VS KOOPERATIF LEARNING

26 September 2011   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:37 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

 

Dua kali saya mengikuti pelatihan TOT (Training of Trainers) di Foundation for Excellence in Education sebuah yayasan yang berlokasi di Jakarta International School (JIS) enam tahun yang lalu. Sepertinya yayasan tersebut tidak beraktifitas lagi.  Saya ikut training matematika dan sosial sekolah dasar. Yang menarik dari training ini, saya diajak bekerja dan belajar dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Manajemen kelas tertata rapi walaupun kita berjumlah 40-an peserta (sesuai dengan sebagian besar jumlah murid sekolah dasar di indonesia). Kalau boleh jadi anak sekolahan lagi, saya pasti merengek-rengek sekolah di tempat atau suasana training ini. 

Hal menarik lainnya, saya dan peserta lainnya dikondisikan dulu tentang paradigma atau pola pikir atau cara pandang dalam pendidikan. Trainer (orang bule) memberi contoh sebuah teko dan cangkir. Teko terlihat berkacak pinggang dengan muka yang masam dan cangkir yang agak ketakutan melihat teko yang lebih tinggi. Saya diajak diskusi apa maksud dari gambar tersebut. Pada awalnya saya seperti kucing yang malu-malu untuk berbagi pengetahuan, seperti biasa atau kebanyakan masyarakat Indonesia. Setelah beberapa menit saya di tunjukkan gambar diamond atau permata. Sekali lagi peserta diminta komentarnya tentang gambar tersebut.

Pelajaran menarik dari kegiatan di atas adalah cara pandang kita terhadap anak didik. Selama ini kita melihat anak didik seperti cangkir kosong yang siap diisi apa saja terserah isinya teko (guru/orang dewasa). Jika teko isinya air teh pasti yang dituangkan ke cangkir teh juga. Begitu juga jika isinya teko adalah air comberan dan sebagainya. Saya tidak terbayang apa jadinya anak-anak kita ini kalau diisi dengan air tersebut. Dari training ini beberapa peserta dan saya mulai berubah cara pandang pada anak didik. Paradigma saya bergeser ke cara pandang bahwa anak itu seperti sebuah tambang yang kaya akan permata-permata. Dan hanya pendidikanlah yang mampu mengeluarkan permata tersebut. Banyak peserta (terutama saya) merasa tidak enak dan malu karena trainernya seorang bule yang peduli dengan pendidikan Indonesia.

 

Pada kesempatan kedua kita diajak untuk menyelami dulu apa itu matematika. Kita di hadapkan pada suatu masalah kehidupan.  Kita lalu diminta melihat dari cara pandang kita masing-masing. Kita diberi beberapa pertanyaan pancingan yang arahnya apakah ada hubungannya dengan matematika. Sampai tengah hari kita masih diskusi tentang matematika di kehidupan sehari-hari. Saya jadi terbayang ternyata tidak perlu alat canggih untuk belajar matematika. Selama ini bayangan saya belajar matematika yang paling baik adalah pakai media yang mahal dan canggih. Pada intinya pelajaran matematika adalah pelajaran proses pengalaman yang berarti. Kita mesti memasukkan dalam hati kita apa itu matematika. Kita mesti membuat matematika menjadi bagian kehidupan anak-anak kita. Kita mesti membuat matematika itu menyenangkan dan bermakna. Kita mesti mencintai matematika jika ingin anak atau anak didik kita tidak ketakutan dengan matematika.

        Terus apa hubungannya judul diatas dengan matematika. Dalam beberapa kesempatan kita diberi beberapa lembar kerja. Seperti kebanyakan lembaga formal pendidikan kita. Anehnya dalam beberapa pembahasan kita tidak ajak untuk berkompetisi menyelesaikan LK tersebut. Kita lebih disibukkan dengan mengerjakan secara berpasangan atau bahkan bertiga atau lebih. Setelah beberapa kali mengerjakan LK, baru saya sadar ada beberapa hal yang saya tidak bisa, menjadi bisa karena pasangan saya. Saya tidak perlu menunggu apakah pekerjaan saya salah atau benar. Lewat pasangan atau kelompok yang lebih besar ini saya mendapatkan beberapa hal lebih cepat tidak perlu menunggu hasil penilaian guru. Indahnya berkooperatif. 

Ada hal menarik lainnya. Para trainer ini tidak pernah mempermasalahkan seperti apa kurikulum kita. Mereka lebih sibuk dengan kesiapan dari peserta/anak didik. Secara garis besar bisa disimpulkan matematika diajarkan secara bertahap-tahap.  Matematika adalah ilmu yang bersangkut paut. Kita tidak akan pernah bisa mengerjakan permasalahan penjumlahan dan perkalian jika kita belum paham dengan konsep angka, bilangan, dan pola. Malu lagi kita (saya), selama ini kita selalu sibuk dengan lembar kerja, hafalan dan sesuatu yang masih abstrak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun