Halo, Ayah. Apa kabar?
Sudah terhitung  hampir 5 tahun Ayah pergi meninggalkan keluarga yang kau cinta.
Aku semakin dewasa dan menua. Maksudku bukan benar benar tua, Ayah
Namun umurku saat ini sudah bisa dibilang dewasa tidak bisa lagi dibilang pantas untuk merengek perihal kepergianmu.
Aku sudah ikhlas dan percaya bahwa Ayah sudah berbahagia disana.
Oh iya, aku selalu titipkan rinduku lewat doa. Semoga Ayah senang ya!
Dan Ayah tidak usah khawatir tentang Mamah,
Aku dan adik sudah bisa menjaganya dengan baik.
Beliau sudah bisa tertawa dengan lelucon sederhana, senyumnya pun selalu merekah setiap kami berkumpul sekedar mengajaknya bercengkrama perihal tentang hidup.
Ayah, aku memang semakin dewasa.
Namun sering kali aku kesusahan menahan tangis ketika mengingat dirimu. Air mata ini selalu jatuh ketika dirimu terbayang di pikiranku.               Apalagi dosaku terlalu banyak padamu, Ayah.   Sering kali dadaku terasa sesak setiap merindukanmu.Â
Aku juga merasa iri ketika melihat anak perempuan lain masih bisa memluk hangat ayahnya, bisa bersanda gurau, dan masih bisa melihat ayahnya. Â Â Â Â Sedangkan aku hanya bisa melihat foto yang sudah lapuk, dan doa tiada henti.Â
Aku masih cengeng kalau Ayah ingin tahu
Aku masih anak perempuan Ayah yang akan menangis kencang ketika merasa kesakitan.
Kata Mamah, sewaktu aku kecil jika aku menangis maka Ayah orang pertama yang ikut bersedih.
Jika aku tersakiti, Ayah orang pertama yang akan marah.
Kenapa Ayah seromantis itu?Aku bahkan belum sempat mengatakan, bahwa aku mencintaimu.Â
Hatiku separuh milik ayah dan setelah ayah pergi.
Aku selalu merasa patah berkali kali.
Semoga kau bahagia ya di sana, Ayah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H