Aku membuat tulisan dengan membawa gelora.
Acara televisi telah kalah seksi
ketika benak liar menuntut penuntasan dari jari-jari nakal ini.
Entah kali keberapa tarikan nafas dan dengus menghembus tak beraturan
mengiringi pendakian tiap jengkal kata.
Ada titik puncak tertuju di benak tak bertuan kala otak dan otot bersekutu.
Namun saat klimaks diraih, dan peregangan dinikmati pada tuts published,
pada saat itulah semua jadi gelap gulita.
Hitam!
Kemana rangkaian kata bersembunyi? Kemana klimaks itu bersandar?
Aku begitu kecewa diantara sukacita yang masih tersisa.
Bangsat !
Artikel utuhku hilang ditelan sinyal maya.
Ingin kubunuh teroris durjana yang bersembunyi diantara diksi. Tapi dimana ordinatnya?
Ah, aku jadi ingat. Artikel itu kutulis dengan hape jadul, yang tak
sengaja bisa membuka Kompasiana secara utuh bagai padang laptop.
Saat itu aku merayakan diri dengan kata, tapi lupa ada Takdir untuknya
Tapi aku tak mau dipersalahkan, karena Aku adalah penguasa kata-kata.
[caption id="attachment_344280" align="aligncenter" width="320" caption="http://aws-dist.brta.in/2013-08/8fa02ffac41f6603365d85874562d3ae.jpg"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H