Kegiatan olahraga lari pagi pada masyarakat perkotaan kini telah jadi bagian "gaya hidup". Hampir setiap pagi, khususnya saat weekend Sabtu-Minggu dapat dijumpai masyarakat berolahraga pagi. Mereka tersebar di beberapa ruang publik kota yang jadi pusat kegiatan, seperti lingkungan stadion olahraga, jalan protokol, alun-alun, dan kawasan perdagangan.
Ruang publik itu tak semata tempat olahraga, beragam aktivitas lain bermunculan, misalnya berdagang makanan-minuman, panggung musik, dan promosi prosduk. Sering kali suasana yang tercipta mirip sebuah karnaval.
Aroma Politik di Ruang Publik Kota
Dunia politik tak mau kalah. Para politikus pun hadir bersama kelompoknya untuk berolahraga sambil "kampanye". Apalagi bila jelang Pilkada seperti yang dilakukan Sandiaga Uno dan Agus Yudhoyono jelang Pilkada DKI. Agus bahkan hadir bersama keluarga besarnya; Ayah (Pak SBY), Ibu Ani, Istri, pengawal, dan para politikus pengusungnya.
Jelang pilkada, ruang publik orahraga pagi telah jadi bagian ruang politik. Kalaupun tidak berbicara tentang politik, aura politik tak bisa lepas dari tubuh pelaku politik. Oleh publik olahraga pagi, politikus dipandang sedang "berkampanye" di ruang publik olahraga pagi.
Aura Eksklusif di Lokasi Lari Pagi
Satu hal yang tampak ketika para politikus itu hadir di ruang publik tersebut adalah munculnya kelompok eksklusif di keramaian. Akibatnya, muncul cibiran dari masyarakat di sana. Inilah "sifat" umum masyarakat kita yang dari sono-nya "anti" kepada orang yang berlaku 'eksklusif' di ruang publik.
Niat awal politikus untuk mendapatkan simpati massa. Namun, tanpa disadari cara yang mereka lakukan di lapangan tidak tidak tepat menyebabkan niat politisnya tidak tercapai optimal.
Aura eksklusif muncul ketika politikus itu lari pagi secara berkelompok sesama mereka. Di tengah keramaian, kelompok mereka seolah ingin menghadirkan sebuah tontonan. Kelompok itu seolah membaur, tapi sebenarnya tidak menyatu. Ada jarak yang tak terukur di kedekatan fisik. Masyarakat umum yang ingin mendekat dan menyapa pun jadi segan. Secara kritis tentu menimbulkan pertanyaan; apakah seorang pemimpin harus seperti itu?
Ada "tren" baru di alam demokrasi negeri ini, yakni seorang pemimpin adalah tokoh yang mampu dekat secara fisik dan emosional dengan masyarakat. Pemimpin seperti inilah yang "bisa diterima" masyarakat. Kalau di tengah keramaian saja si tokoh berjarak dengan masyarakat, bagaimana masyarakat bisa menerima secara emosional?