Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY Temukan Momentum ‘Mematok’ Jokowi

30 April 2015   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430413833801014143

Bukan SBY kalau hanya berdiam diri saat panggung ramai. Untuk yang satu ini beliau sangat mahir sejak masih menjabat presiden. Keunggulannya pada cara berkomunikasi yang santun dan runtut masih belum ada tandingannya. Itu artinya,sampai kini beliau (masih) punya rasa tanggung jawab terhadap kehidupan bangsa ini.

Seorang SBY sangat sensitif dan reaktif terhadap isu-isu publik yang menyangkut kebijakan-bahkan tentang diri pribadinya yang berkorelasi dari kebijakan dan gurita fenomena publik. Karena sensitif dan reaktif itu maka emblim ‘Si Presiden Lebay’ tersemat sempurna di sekujur tubuhnya. Sebagian publik bertepuk tangan. Apa boleh buat !

Tak pernah dia membiarkan sebuah isu beranak pinak-berdifusi liar bagai atom-atom menembus ruang dan waktu yang tak jelas. Masih mendingan bila difusi itu menghasilkan energi positif pembangkit tidur panjang. Namun yang sering terjadi justru difusi itu meninak-bobokkan kaum penikmat sensasi murahan namun sekaligus menusuk tulang kebenaran.

Kebenaran? Apakah seorang SBYselalu benar? Mungkin saja tidak selalu. Tapi dia berusaha mencapai limit ketepatan diantara ragam kebenaran. Karena tidak semua kebenaran bisa menempati posisi tepat. Ketepatan itu ditentukan oleh momentum. Bekalnya adalah kepandaian melihat dan meraih momentum.Saat itulah ‘kebenaran’ profan merayakan dirinya.

[caption id="attachment_381089" align="aligncenter" width="663" caption="http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2013/11/21/230297_presiden-sby-_663_382.jpg"][/caption]

Seorang SBY selalu tak mau membiarkan sebuah kebenaran diperkosa secara massal. Dia berikan sebuah patokan (benchmark), bukan justru membiarkannya jadi pelintasan issue dan absuditas di ruang kebenaran tak bertuan : tanpa etika dan moral yang makin terpuruk oleh hasrat penikmat sensasi. Yang paling celaka adalahpelintasan isuue itu kemudian membelenggu sejarah sebagai pembelajaran kritis, kemudian membungkam kebenaran yang bertunas dari jiwa-jiwa bening embun pagi hari yang masih tersisa!

Sadar bahwa di dunia ini tak ada kebenaran sejati, karena itu hanya milik dunia sakral. Maka itu cukuplah SBY berupaya membangun kebenaran dunia profan-yang walau absurd-namun bila dikomunikasikan secara runtut dan santun akan memperjelas sekaligus mencegah absurditas menjadi hantu besar yang menakutkan orang-orang kecil. Dia percaya ada tersisajiwa-jiwa jernihyang masih berjaga.

Koreksi SBY terhadap Jokowi berkaitan dengan utang pada IMF adalah sebuah benchmark (patokan) karena SBY adalah pemikul patok sekaligus pematoknya. Tak masalah ‘koreksian’ itu jadi medan bully paling hot di ruang publik di sela-sela gaung teriakan hukuman mati napi narkoba. Bagaimanapun ‘koreksian’ itu harus SBY suarakan kepada para pelintas ruang, bahkan bagi penikmat haus sensasi sekalipun. Setelah itu, silahkansemua jadi pelintas atau pencuri bidang di ruang publik tak bertuan. Karena langkah kaki dan pikiran mereka bukan lagi semata milik si Tukang patok.

Apa jadinya bila (soal IMF dan lainnya yang remeh temeh) tak dikomunikasikan? Ruang kosong tak bertuanitu akan penuh oleh aburditas publik yang tersungkur oleh kaum penikmat sensasi !

Silahkan bila Anda hanya mampu melihat pemikul itu tak lebih si Tukang patok yang lebay, kusut dan hina, atau Anda hanya melihat batang patok itu tak lebih sebuah kayu lapuk. Tapi jangan lupa, bahwa ada patok yang bisa jadi ‘pegangan’ ketika tersesat di keramaian, atau penanda arah di kesunyian. Bagi SBY si Tukang patok, apa yang Andapikirkan dan lakukan kemudian bukan lagi milik kehendaknya. Semua itu akan jadi kehendak sejarah yang kritis. Maka itu berbicaralah dengan artikulasi yang jelas. Bukan hanya dengan bahasa tubuh yang tak bisa didengar dan tak pernah memberi nikmat gendang telinga dan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun