[caption id="attachment_331070" align="aligncenter" width="620" caption="http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02953/portal-chiellini_2953707b.jpg"][/caption]
Mungkin sebelumnya tak terpikirkan oleh Luis Suarez, bintang sepakbola Uruguay ketika menggigit bek Italia Giorgio Chiellini dia akan mendapatkan hukuman sangat berat dari FIFA. Hukuman itu seperti gigitan pembunuh mimpi-mimpi masa kecilnya, memenggal sebagian tangan negara dan bangsanya untuk meraih mimpi lama menjadi juara dunia. Bahkan mungkin, Chilellini yang jadi korban gigitannya pun akan menolak hukuman bagi Suarez itu. Kalau saja sebuah pemberian maaf dapat meniadakan hukuman berat tersebut, Chiellini akan segera memberikannya pada Suarez tanpa syarat karena dia tahu bagaimana mimpi seorang pemain bola bagi diri sendiri dan bangsanya
Hukuman FIFA pada Suarez berisi larangan tampil di ajang pertandingan Internasional selama sembilan pertandingan, larangan ikut serta semua kegiatan sepakbola (bermain, administrasi, dan hal yang berkaitan lainnya) selama empat bulan, plus denda 66.000 Pounsterling atau setara 1,4 milar rupiah.
Kalau masalah sangsi sejumlah uang bisa dicari, tapi soal larangan bertanding dan keterlibatan dalam kegiatan sepakbola tentu tiada penggantinya. Bahkan Suarez dilarang memasuki stadion tempat tim nasionalnya bermain. Tak ada ruang dan waktu baginya untuk berada diantara teman-teman satu tim untuk sekedar menemani mereka berlaga. Pupus sudah semua itu dilibas sangsi tegas.
[caption id="attachment_331071" align="aligncenter" width="681" caption="http://freepressjournal.in/wp-content/uploads/2014/06/Uruguay-striker-Luis-Suarez-bites-Giorgio-Chiellini-500x300.jpg"]
Sungguh siksaan berat bagi seorang pemain besar, terlebih saat ini negara sangat membutuhkan tenaganya di babak lanjutan piala dunia. Sosok seorang Suarez dalam tim sangat penting. Dia adalah setengah dewa, menjadi lokomotif daninspirator permainan tim negaranya. Tapi nyatanya sang Lokomotif itu harus masuk gudang, jauh dari riuh stasiun yang sedang berpesta.
Sangsi kepada Luis Suarez adalah pelajaran bagi banyak pihak, kepada siapapun dan pada momen sepenting atau se-akbar apapun untuk tidak bermain curang, baik dengan sengaja atau sekedar iseng. Tak ada ruang untuk mencari sensasi sejagad dengan cara-cara iseng dan kotor.
Pelajaran itu memuat tiga sisi, baik bagi Suarez dan timnya maupun bagi tim lain yang masih berlaga di piala dunia, termasuk bagi FIFA sendiri.
Bagi tim Uruguay yang sejak dahulu terkenal dan identik dengan permainan negatif football ditengah keindahan dan eksotisme gaya latinnya. moment ini bisa jadi langkah besar untuk merubah mainset cara bermain dan bertanding sepakbola yang benar. Negatif football ini sempat menjadi kebanggaan negara Uruguay yang sering membuat ngeri dan nyeri lawan sebelum pertandingan. Para pemain Uruguay begitu fasih bagaimana bermain kasar, tidak sportif dan menghalalkan segala cara agar lawan ketakutan bila bersentuhan dengan mereka di lapangan. Terbayang rasa nyeri dan bahkan kematian karier permanen sebagai pemain bola bila berhadapan dengan tim Uruguay.
Bagi tim lain cukuplah Suarez saja meratapi nasibnya, dan jangan coba-coba meniru ulahnya walau itu hanya sekedar mencari sensasi menjual diri agar terkenal dan dilirik agen sepakbola. Jangan mengira kasus fenomenal piala dunia lalu saat Zidane Zidan (Perancis) menanduk dada Materazi (Italia) berlanjut pada Suarez. Preseden keduanya terhenti dengan hukuman berat. Masih mendingan Zidane yang masih sempat mengantar timnya sampai final, bahkan dia pulang sebagai hero pembela negara dan harga diri pribadi. Tapi sangsi adalah sangsi. Ketegasan itu menghentikan mimpi mereka.
Bagi FIFA, hukuman itu mengokohkan dirinya sebagai organisasi besar penuh wibawa yang tidak bisa dipengaruhi siapapun, dan oleh sentimen apapun. Bagi FIFA, tidak ada rasa kasihan bagi pemain yang menjadi pahlawan dan harapan negaranya. FIFA tak perlu repot penuh empati membayangkan mata pilu penuh mohon ampun dari berjuta rakyat Uruguay. Bagi FIFA ada garis batas jelas antara penegakan peraturan dan empati. Tak perduli sekalipun itu sebuah moment akbar yang jadi impian setiap bangsa. Karena sepakbola sejatinya adalah sebuah pertarungan kejujuran, bukan hanya panggung meraih tropi kehormatan semata.
Berkaca dari sangsi tegas FIFA itu, walau berbeda bidang, sulit rasanya membayangkan hal serupa (sangsi tegas tanpa kecuali) diberlakukan dalam ajang akbar pilpres di negara kita saat iniyang kebetulan momentumnya bersamaan piala dunia. Terlalu berat ongkos sosial yang akan timbul, bukan?
Salam sepakbola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H