Menulis merupakan kegiatan yang mengasikkan bagi sebagian orang. Dengan menulis, orang tersebut menikmati apa yang dikerjakannya. Mulai dari mencari ide tulisan, menemukan tema, membuat judul sementara, dan kemudian menyusun kerangka pemikiran sampailah merangkai setiap kata. Dan terakhir adalah proses editing, yang seringkali cukup merepotkan. Karena ini yang disebut sebagai tahap fisnishing akhir, maka penyempurnaan dilakukan berulang kali untuk mendapatkan desain tulisan yang jelas, mudah dicerna dan tentu saja menarik untuk dibaca oleh orang lain.
Seringkali pada tahap editing ini, seluruh rangkaian kalimat yang sudah dibuat dalam draft harus berubah semua. Ketika kalimat utama berubah, maka anak-anak kalimat yang menyertainya menyesuaikan. Banyak hal yang jadi dasar pertimbangan penyesuaian tersebut, misalnya : untuk mendapatkan relasional tema, memberikan atau menguatkan jiwa paragrap, dan lain sebagainya tergantung jenis tulisan yang dibuat; apakah berupa opini, laporan, informasi fakta, fiksi-non fiksi dan lain sebagainya.
Ketika sebuah tulisan sudah jadi dan dibaca orang lain, akan terlihat seperti sebuah hasil yang sederhana. Bukan tidak mungkin pembaca merasa tulisan tersbut dapat juga dibuatnya karena tampak begitu mudah. Namun seringkali anggapan itu menyesatkan diri mereka sendiri, karena bila si pembaca tadi mencoba menulis tema yang sama, belum tentu dia dengan mudah menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan sederhana. Kenapa demikian? Karena menulis adalah kegiatan yang menyakitkan !
Banyak orang tidak tahu bahwa kegiatan menulis itu sangat menyakitkan. Bahkan seorang yang gemar menulis pun tidak menyadarinya karena rasa asiknya telah mengesampingkan rasa sakit. Dia tidak lagi menghiraukan rasa sakit sebagai penghalang proses menulis. Justru sebaliknya, rasa sakit itu menjadi lokomotif yang menariknya untuk terus menjalankan proses membuat tulisan. Dia hanya tahu bahwa, dirinya sedang berada di rel penuangan ide tulisan. Kegiatan menulis akan semakin menyakitkan bagi orang yang memang pada dasarnya tidak suka menulis, yang disuatu kesempatan diharuskan menulis karena tuntutan kewajiban tertentu.
Seperti apakah rasa sakit menulis itu? Saya akan identifikasikan secara sederhana.
Kegiatan menulis dimulai dari mencari atau menemukan ide tulisan. Ide ini bisa bermula dari mana saja dan tentang apa saja. Artinya ide selalu dimulai dari rangsangan kesadaran akan sesuatu yang telah dilakukan, dilihat, didengar, dirasa, dan dipikirkan, yang kesemuanya itu dimulai oleh faktor luar yang kemudian membuat kesadaran tidak stabil atau tidak setenang biasanya. Muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri yang membuat galau, gelisah, emosi dan lain sebagainya tentang suatu fenomena yang ditangkap atau diterima dari luar.
Setiap kaki melangkah yang ada hanya kegalauan dan pikiran-pikiran liar. Terlebih lagi bila apa yang dialami itu belum mampu distrukturkan secara jelas. Kondisi ini sangat menyakitkan. Ibarat penyakit sungguhan, kondisi tersebut merupakan masa ingkubasi. Apapun penyakitnya, masa ingkubasi memiliki kemiripan gejala seperti: suhu tubuh yang meningkat (demam), selera makan menurun, gelisah, badan lemah, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan membuat tulisan, apapun tema yang akan diangkat, kondisi yang muncul pertama kali adalah masa inkubasi menulis, yakni ; rasa gelisah, galau, tidak tenang karena pikiran dipenuhi ide, pertanyaan-pertanyaan, keinginan-keinginan dan lain sebagainya. Kondisi tersebut sangat menyakitkan. Seperti penggalan syair dalam lagu cinta : “jalan-jalan tak tenang, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak”. Semua yang dipikirkan adalah ‘si dia’, yakni ; ide tulisan beserta sekutu-sekutunya !
Masa inkubasi menulis pada setiap orang tidak sama. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Tergantung pada daya tahan dan strategi orang tersebut dalam menghadapi ‘demam ide’. Pada orang yang punya daya tahan kuat, hal tersebut dihadapinya dengan mencari referensi tambahan - yang pada sebagian orang ‘lemah’ justru bisa menambah ‘demam makin tinggi’ karena tambah bingung. Pada orang yang sudah terbiasa menulis, dia mempunyai strategi baku, yakni segera menuangkan sebagian idenya itu kedalam media sederhana, bisa berupa coretan di kertas sebagai draft kasar. Hanya dia yang mengerti coretan kasar tersebut.
Sekarang manusia diuntungkan adanya perangkat elektronik yang mobile, seperti hanphone, smartphone, tablet, laptop, dan lain sebagainya. Perangkat tersebut seolah menempel pada setiap orang, bisa dibawa kemana saja bahkan menyertai anda saat di dalam wc ! Anda dapat segera menyimpan ide awal tulisan kedalam perangkat tersebut sambil buang air besar, bercinta, dimarahi atasan, rapat dengan menteri, menunggu langit runtuh, bercinta, melayat orang meninggal. Tapi saya tidak mewacanakannya saat ibadah. Kalau Tuhan marah, siapa yang tanggung ? Heu..heu..
Penuangan ide awal tadi akan mengurangi rasa sakit masa inkubasi menulis yang cukup signifikan. Setidaknya, anda perlahan-lahan menemukan tema besar, judul sementara dan beberapa pokok pikiran atau kata kunci dari ide awal anda. Langkah selanjutnya adalah pengembangan ide kedalam pokok-pokok pikiran yang urutannya sesuai isi paragraph pertama tulisan ini.
Soal bagaimana identifikasi rasa sakit selanjutnya tidak akan saya tulis disini. Anda coba saja sendiri agar anda merasakannya langsung.
Anda tahu tidak, sih? Ketika saya membuat tulisan ini, saya mengalami kesakitan yang luar biasa. Dan saya bersumpah tidak mau kesakitan sendiri. Rasain, lu…!
Heu..heu..heu….Celeguk..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H