[caption id="attachment_338793" align="aligncenter" width="470" caption="http://lh5.ggpht.com/_bAGDpP1qvPI/TVOa8BGdYHI/AAAAAAAABLA/QzMbKs9l9Fw/1_thumb%5B1%5D.jpg?imgmax=800"][/caption]
Anda bisa bayangkan betapa nyeri, repot dan malunya sakit bisulan, bukan? Makanya tak ada orang mau bisulan. Kalaupun terkena biasanya tidak mau mengakui bisulan. Kalau ditanya sakit apa? bilang keseleo akibat jatuh dari Harley Davidson atau terkena asam urat. Kedengarannya lebih modis. Jangan tanya nama latinnya karena saya takut terkena bisulan. Paham?
Sebenarnya tidak enak hati membuat tulisan ini karena saya warga baru di Kompasiana, yakni baru 166 hari sekian jam. Jadi belum bisa ulang tahun. Sebagai warga baru yang terkenal religius, nasionalis, pintar, cerdas dan ganteng selangit harusnya saya bersikap munafik yang rapi, jadi anak manis dan cari aman saja. Pura-pura tidak tahu ada tetangga bertengkar.Tapi kalau tidak ditulis, saya sendiri bisa bisulan secara terstruktur, sistematis dan masif.
Membuat tulisan ini sebenarnya diam-diam bikin saya malu. Tapi karena ingat pesan dewa angin; ‘seorang pemalu akan tersesat di lokalisasi’ maka saya nekat menulis. Lho, kok lokalisasi? Iya, suka-suka dong menentukan tempat sesat yang nyaman. Sudahlah tersesat, masak pilih tidak nyaman? Enak aja !
Kalau ada pepatah tersesat di jalan itu adalah gagal pikir paripurna yang sudah kuno karena di jalanan banyak angkot, taksi atau ojek lewat yang bisa ditumpangi. Jadi kapan sesatnya? Nah, kalau di lokalisasi itu jelas sesat dan seru-seru saru. Sebagai orang yang religius, nasionalis, pintar dan cerdas serta ganteng kok bisa-bisanya ke lokalisasi. Jelas itu sesat yang masif.
Kembali ke laptop, apa pangkal masalah bisulan Kompasianer?
Begini. Alkisah di Padepokan Kompasiana yang berisi pendekar tulis-tulis ini terjadi perseteruan. Masing-masing pendekar dengan anggota koalisinya punya ajian kedigdayaan tulis-tulis tersendiri. Jurus dan gerak mereka saat beraksi pun tentu beda. Jangan ditanya saktinya ajian itu...wuss! Bakal bablas angine.
Perseteruan muncul karena ada perbedaan pandangan tentang tangga menuju surga. Pihak pendekar pertama beranggapan bagian lantai bawah dan atas harus diperhitungkan karena merupakan bagian pijakan yang tak terpisahkan menuju surga. Sementara pendekar lainnya beranggapan kedua lantai itu tidak perlu diperhitungkan. Bukan tangga lagi namanya kalau masuk hitungan.
Hal kedua adalah perbedaan pandangan tentang surga itu sendiri. Pendekar pertama mengatakan surga itu tempat spesial yang penuh kenikmatan ala duniawi, ada sejumlah bidadari cantik dan seksi yang melayani setiap orang selama surga.Sementara pendekar kedua beranggapan bahwa isi surga tidaklah seperti itu, melainkan suatu kehidupan baru penuh kontemplasi yang berbeda dengan kehidupan di dunia.
Kedua pendekar pun berseteru penuh keseruan sehingga jadi pusat perhatian para tetangga yang tinggal di padepokan Kompasiana. Banyak yang menyimak dan berharap kedua pendekar mengeluarkan jurus-jurus sakti yang indah dan terurai secara terstruktur, sistematis dan masif dalam gerakan sebagai seorang pendekar. Mereka ingin melihat sebuah pertarungan tulis-tulis yang elegan, sekaligus bisa mencuri ilmu jurus-jurus kedua pendekar itu.
Kedua pendekar itu melakukan gerakan indah diawal laga. Tetapi ternyata hal itu tidak lama dan hanya sekedar pembuka yang menipu mata. Pada lanjutan laga yang semakin seru mereka melupakan jurus-jurus sebagai kesatria dan pendekar. Yang mereka keluarkan justru gerakan aneh seperti anak-anak kecil berkelahi, atau seperti emak-emak berdaster yang berkelahi ditepi jalan. Mereka saling meludah yang berbau jigong karena jarang gosok gigi. Mereka juga saling mencakar dan menjambak rambut, kaki menendang secara sembarangan ke sasaran yang tak jelas. Keduanya terjatuh dengan kaki mengangkang sehingga terlihat celana dalamnya yang bolong-bolong dan kendor. Samar-samar terlihat ada bagian yang melambai-lambai.
Sebagian penonton menutup mata dan segera pulang dengan tabah, namun sebagian lagi tetap bertahan dengan khusyuk menikmati sambil mengulum tawa.
Tiba-tiba kedua pendekar mundur, saling menjaga jarak sembari pasang kuda-kuda. Penonton menahan nafas, berpikir bahwa kedua pendekar akan mengeluarkan jurus yang sesungguhnya. Tapi ternyata tidak. Kedua pendekar itu masing-masing mengambil sandal kemudian melempar ke lawannya. Sehingga keduanya sama-sama terkena secara bersamaan. Tak puas hany sampai disitu, mereka pun mengambil batu sebesar kepalan orang dewasa, kemudiandilemparkan lagi dan masing-masing kena lagi.
Akibatnya, kedua pendekar ituselain luka-luka bekas cakaran juga benjol-benjol. Beberapa harikemudian benjol itu menjadi bisul karena infeksi. Penyebabnya adalah batu dan sandal yang mereka pakai untuk melempar tidak higienis. Sandal itu terbuat dari kayu, ada paku berkaratnya, selain itu bau busuk karena kaki kedua pedekar itu korengan. Lengkaplah sudah.
Kini kedua pendekar itu menderita bisulan permanen di padepokan Kompasiana. Bisul itu belum pecah, hanya sedikit-sedikit menetes mengeluakan nanah berbau busuk yang bikin sebagian tetangga menutup hidung atau menahan nafas secara diam-diam. Kedua pendekar itu masih berseteru. Karena bisulan, gerakan keduanya tampak lucu akibat menahan sakit. Bayangkan saja, saat bergerak, belum sempat membuat lawan sakit mereka sudah kesakitan duluan. Inilah yang membuat padepokan Kompasiana heboh dan tampak makin seksi. Sebagian mata warga pedepokan diam-diam mengintip dan menyimak penuh keingintahuan.
Demikinlah kisah perseteruan pendekar bisulan di padepokan Kompasiana. Bila ada kesamaan nama, kejadian dan tempat itu hanya kebetulan belaka. Ingat belok kiri jalan terus. Hati-hati banyak anak-anak. Kutunggu jandamu. Jamanku enak, tho? Bila sakit berlanjut hubungi dokter. Terimakasih atas kunjungan anda. Selamat jalan sampai tujuan. Celeguk !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H