Namanya perokok, mau dilarang atau dihadangkan bagaimanapun tak akan hilang akal. "Lebih baik putus pacar daripada putus batang rokok"; "Merokok, Mati. Tidak Merokok, Mati. Lebih Baik Merokok!" ; "Bersakit-sakit Dahulu, Merokok-rokok Kemudian". Heu heu heu..! Begitulah beberapa 'joke' para perokok. Namanya 'joke', hanya sebagai candaan belaka di antara sesama perokok. Saya adalah perokok jadi tahu ‘joke’ tersebut.
Artikel ini Ini hanyalah sudut pandang lain dari sisi perokok. Bukan untuk mempertentangkan ‘benar atau salah’ tentang merokok karena banyak parameter yang harus digunakan. Tapi pembaca dipersilakan menilai secara subyektif. Karena itu adalah hak pembaca, demikian pula hak saya menulis artikel ini.
Bila kelak harga rokok dinaikkan secara "fantastis", tentu tak bisa dipungkiri berpengaruh pada tingkat beli perokok. Rokok yang tadinya murah dan mudah, jadi tidak murah dan tidak mudah karena faktor isi dompet. Tidak murah bukan berarti tidak bisa merokok. Selalu ada celah bisa digunakan menjalankan ritual merokok. Kaum perokok hilang akal, seperti kata pepatah “Banyak cara menuju Roma”. Sejalan dengan ‘joke’ perokok; ‘Merokok membuat pikiran jadi cerah, ide selalu mengalir dengan mantap surantap’. Jadi jalan ke Roma pun bisa mudah didapatkan. Satu lagi, karena rokok sudah mahal, tak perlu sampai ke Roma untuk merokok. Cukup ‘ngumpul’ di komunitas tembakau! heu..heu..heu...
Kebijakan pemerintah menaikkan harga rokok secara fantastis lebih kepada produk rokok pabrikan (yang diproduksi pabrik), bukan pada tembakau ‘rajangan (racikan; irisan)’ dari petani. Padahal, inti dari rokok adalah pada tembakau.
Saya punya pengalaman menarik di proyek. Banyak pekerja bangunan saya yang pada saat jam istirahat kerja merokok merek ‘Lunglat’ . Merek itu hanya candaan, karena artinya ‘digulung dijilat’. Saat istirahat ikut ngumpul dengan mereka di lokasi proyek, kami berbagi cerita tentang banyak hal yang ringan-ringan. Rokok menjadi salah satu alat mengakrabkan suasana saat itu. Mereka pun menawari rokok ‘Lunglat’.
Mereka selalu bawa kemasan kertas rokok tipis dan sekantong platik tembakau rajangan. Untuk merokok, tembakau rajangan terlebih dahulu diplintir bersamaan kertas rokok, digulung-gulung pakai tangan. Setelah didapatkan ‘bentuk batangan’ yang mantap, ujung kertas dijilat sebagai lem menutup bentuk batangan tadi. Maka selanjutnya, rokok siap dibakar dan dinikmati. Soal rasa itu relatif. Bagi saya, ternyata nikmat juga. Beberapa orang bisa meracik tembakau rajangan itu dengan hasil tumbukan halus cengkeh yang dibeli di pasar. Hasilnya rokok jadi terasa mantap.
Dari pengakuan mereka, memilih rokok ‘Lunglat’ tersebut untuk menghemat pengeluaran biaya rokok. Beberapa dari mereka dulu pernah ‘pegang’ rokok kretek, namun seiring waktu dengan kenaikan harga rokok, mereka beralih ke ‘Lunglat’. Maklum saja, sebagai pekerja harian yang dibayar per minggu tentu berpikir tidak mungkin setiap hari membeli rokok kretek atau mild yang harganya bisa seperlima dari upah harian. Soal hemat, tentu saja hemat. Dengan satu kantong plastik tembakau seharga berkisar 20-30 ribu dan berat ½- ¼ kg (volume cukup banyak) bisa habis lebih dari seminggu.
Kalau dilihat sepintas, rokok ‘Lunglat’ ini hanya untuk kalangan bawah, yakni kaum buruh sederajat. Tapi jangan salah om/tante, pernah saya bekerja sama dalam satu proyek yang melibatkan pekerja seni ukir dan pahat untuk ornamentasi bangunan. Mereka adalah pekerja berpendidikan sarjana seni. Dan ternyata rokoknya juga ‘merek Lunglat’. Dari ngobrol-ngobrol di lokasi, mereka memilih ‘Lunglat’ bukan karena tak mampu beli rokok kretek atau mild karena pendapatan mereka cukup besar. Alasannya, mereka ‘tidak mau sama dengan orang lain’ alias mau ‘tampil beda’. Ternyata mereka ada komunitasnya (komunitas Lunglat). Di komunitas itu mereka berbagi informasi tentang tembakau rajangan. Walau jenis rokok mereka ‘sama’ dengan buruh bangunan tapi secara kelompok (komunitas) mereka jadi tampak lebih elite.
Selama ini komunitas ‘Lunglat’ tidak terlalu menonjol karena ditelan ‘hegemoni’ rokok pabrikan. Maklum saja, iklan rokok pabrikan lebih unjuk diri dan ada di mana-mana, mulai jalan, pusat perbelanjaan, media cetak, radio, televisi, dan ruang publik lainnya. Sementara ‘merek Lunglat’ tak pernah beriklan. Mereka ‘hidup’ jauh hingar-bingar merek ternama. Merek ‘Lunglat’ hanya ada di tangan si Perokok!
Dari fenomena ‘Lunglat’ ini, saya berpikir bila kelak pemerintah jadi menaikkan harga rokok, akan banyak perokok menyiasatinya dengan beralih ke merek ‘Lunglat’! Walau sedikit repot karena harus melinting sendiri, demi kejayaan diri sebagai ahli hisap asap, hal itu tidak masalah. Selanjutnya akan muncul komunitas-komunitas ‘Lunglat’ sebagai sebuah tren untuk menaikkan pamor perokok Lunglat ‘tidak sama dengan buruh’. Komunitas ini akan berimprovisasi untuk menyamai pamor perokok pabrikan. Maklum saja, para perokok pabrikan nantinya akan merasa sebagai orang yang ‘eksklusif dan borjuis’ karena mampu ‘membakar uang nominal besar’. Kantong tebal, harga rokok mahal bukan masalah bagi mereka.
Berpindahnya para perokok pabrikan ke rokok ‘Lunglat’ menghasilkan ragam turunan, misalnya munculnya industri rumahan yang memproduksi tembakau rajangan dalam kemasan. Produk itu dijual di warung bebas atau lewat komunitas. Akan ada racikan aroma tertentu, bungkusnya diberi merek menarik tanpa ‘gambar serem’ seperti rokok pabrikan. Turunan ini menempatkannya tidak sama dengan tembakau milik para buruh bangunan yang hanya dimasukkan dalam kantong plastik biasa. Selanjutnya bukan tidak mungkin produsen rokok pabrikan juga menjual tembakau rajangan beserta kertas rokoknya! wiiiiiihhh...gileee benerr...!