Kalau terus memikirkan dosa, Anda tidak akan pernah menulis.
Tulislah apa yang Anda pikirkan. Pokoknya menulis ! Soal lain itu urusan belakangan.
Kalimat ajakan sekaligus pemberi semangat menulis sering muncul dalam artikel tersendiri diantara banyak artikel cadas (kritik keras) bertema politik terkini. Saking hot-nya tema, artikel cadas itu dikunjungi banyak pembaca, dikomentari, dan bahkan ditayangkan di kolom terhormat seperti Hi atau TA.
Dalam artikel itu para tokoh politik bagai ditelanjangi, menteri dan pejabat tinggi negara 'dihajar' habis-habisan, bahkan presiden pun 'diomeli'. Padahal mereka itu adalah orang kuat, yang bisa saja menuntut atau 'mengirim tukang pukul' untuk 'menghajar balik' si Kompasianer.
Bagaimana seorang Kompasianer bisa menulis artikel berani seperti itu? Apa tidak takut 'kenapa-kenapa' nantinya? Begitulah pertanyaan yang sering muncul dari beberapa kawan.
Ketika mulai menuangkan buah pikiran ke dalam susunan kalimat, seorang penulis (memang) bagai tak takut dosa. Semua yang ada di benak seolah ditumpahkan begitu saja tanpa ragu, misalnya menyangkut rasa keadilan masyarakat atau justru sentimen tertentu. Ketika melakukannya, setiap Kompasianer memiliki setting-nya tersendiri.
Kondisi saat menulis tanpa takut dosa merupakan permulaan untuk mengalahkan ketakutan dan keraguan. Tanpa terasa banyak kalimat dan pokok pikiran tertuang, walau mungkin belum runtut. Di situlah menulis 'tanpa dosa' menemukan wadahnya.
Bila sejak awal yang selalu dipikirkan adalah dosa maka tulisan tidak akan pernah jadi. Apa yang dipikirkan tidak bisa tertuang sepenuhnya hanya karena takut berdosa 'menulis kebobrokan publik figur'. Akhirnya pikiran penulis jadi mampet dan berhenti menulis.
Akibat lebih lanjut, si Penulis jadi uring-uringan dan ngomel-ngomel sendirian atau saat bersama kawan-kawan.Kalau sudah begitu bukan tidak mungkin Dosa lain tercipta karena berbicara ceplas-ceplos tanpa kontrol tentang tema yang sama dengan yang tadinya ingin ditulis.
Berbeda dengan Dosa tulisan, saat semua unek-unek telah disemburkan lewat kelincahan jari-jari di keyboard, kita masih bisa membaca ulang, melakukan perbaikan dan pengaturan struktur kalimat agar menjadi jelas, serta menambah referensi yang diperlukan. Dengan begitu, sebuah artikel cadas selalu didasarkan sebuah referensi dan logika berpikir, bukan sekedar omelan dan tumpahan kemarahan tanpa dasar.
Menulis tanpa dosa hanyalah sebuah langkah awal untuk tidak berbuat dosa yang lebih besar saat membuat tulisan. Ini hanya perkiraan menurut ukuran manusia saja. Sejatinya ; berdosa atau tidak, hanya Tuhan yang bisa mengukurnya. Namun biasanya ukuran manusia tidak jauh meleset karena ada hati nurani yang mengawalnya. Tinggal Anda meramunya dengan logika menulis yang benar. Semoga Tuhan bisa tersenyum saat membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H