Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghakimi Niat "Bodoh dan Gila" Jokowi

31 Maret 2014   19:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perdebatan tentang niat Jokowi menjadi presiden seperti tak pernah usai. Ini akan terus bergulir hingga menjelang pemilihan presiden. Sekian menit setelah bilik suara ditutup di seluruh Indonesia, maka debat itu hanya sebuah sejarah saja.

Tema debat yang paling seksi saat ini adalah posisi Jokowi yang masih menjabat sebagai gubernur DKI namun sudah mau nyapres. Disinilah penghakiman itu dimulai, dengan tuduhan : Tidak tepat janji pada tugas hingga selesai.

Jokowi menjadi terdakwa tunggal, kesalahannya bukan sebagai pribadi Jokowi, tapi karena jabatannya sebagai gubernur yang sedang berjalan. Hukum dalam penghakiman itu menyatakan Salah karena berniat meninggalkan jabatan yang sedang berjalan. Entahlah, kalau dia bukan gubernur, katakanlah cuma menjabat ketua RT, apakah dihakimi juga?

Para hakim dadakan pun bermunculan dari berbagai kalangan, politikus, mahasiswa, pengamat sosial politik, dan lain-lain termasuklah masyarakat awam. Mereka adalah hakim dadakan yang tak henti menggelar sidang pengadilan di ranah opini masyarakat luas. Hanya dengan bekal informasi dan berita yang berkembang maka jadilah alat bukti penghakiman. Namanya saja hakim dadakan, prosesnya juga dadakan.

Paling miris bila hakim dadakan ini ternyata adalah orang-orang yang dibentuk oleh pesaing Jokowi. Mereka mencari segala upaya hukum opini untuk menghakimi Jokowi, termasuklah merekayasa tuduhan tidak tepat janji tersebut. Hakim seperti ini adalah boneka paling pintar namun sebenarnyatak tahu apa-apa. Sungguh kasihan.

Para hakim dadakan ini lupa, bahwa mereka masing-masing telah (juga) meninggalkan jabatannya untuk menjadi hakim dadakan. Secara moril, mereka harusnya juga dihakimi, dan menjadi terdakwa utama atas kesalahan meninggalkan jabatan asli yang sedang berjalan untuk menjadi hakim dadakan. Lalu, siapa yang akan menghakimi mereka? Apakah para hakim di kementrian hukum? Tentu saja konyol, karena mereka bukan hakim dadakan. Sedangkan Tuhan universal masih sibuk urusan lain, dan belum punya jadwal tetap untuk penghakiman.

Niat seorang Jokowi menjadi presiden adalah sesuatu yang mulia. Tidak semua orang mampu dan mau menjadi presiden karena akan menjalani pekerjaan dengan permasalahan yang lebih besar, yakni : mengurus negara, bangsa dan rakyat Indonesia yang majemuk.Sedangkan upah yang diterima tak sebanding dengan beratnya memikul jabatan itu.Menjadi gubernur juga mulia, tapi lingkupnya tidak sebesar dan seberat mengurus negara.

Hanya orang bodoh yang awalnya punya tugas lebih ringan kemudian mau menggantinya jadi permasalahan besar dalam hidupnya. Justru, sebaliknya banyak orang yang berdoa seperti ini : “Ya, Tuhan..janganlah Engkau berikan aku beban yang berat dalam hidupku..”. Betul, kan?

Orang bodoh tersebut bisa dibagi dua kategori. Pertama, adalah orang bodoh karena memang tidak (belum) tahu sama sekali. Kedua adalah orang bodoh karena sudah tahu tapi masih nekat menjadi bodoh.

Kategori pertama banyak sekali. Orang bodoh seperti ini masih bisa dimaklumi, karena bisa pintar kalau mau terus belajar yang akhirnya menjadi tahu dan mengerti. Orang bodoh seperti ini belum boleh nyapres, mesti sekolah yang rajin dulu.

Kategori kedua sangat langka. Orang bodoh kategori ini mendekati sebutan orang gila, karena sudah tahu sesuatu itu rumit, tidak nyaman, bikin susah sendiri, tapi tetap saja mau melakukannya.

Orang bodoh yang mendekati gila tadi sebenarnya memiliki kesadaran sangat nyata akan kebodohan dan dunia gilanya, namun itu membuat tidak nyaman dan aneh bagi orang yang melihatnya.Ibarat seorang yang memiliki rumah bagus dan nyaman, namun lebih suka kelayapan di jalan dan tidur di emperan toko yang dingin dan kotor maka biasanya dia akan disebut bodoh atau gila. Bagi orang waras yang punya rumah bagus dan nyaman tentu tidak mau seperti orang gila tadi, “Udah enak kok bikin susah diri sendiri.”

Para hakim dadakan tadi sebenarnya termasuk kategori orang waras namun aneh, karena mereka beramai-ramai menghakimi orang bodoh dan gila seperti Jokowi. Harusnya mereka tahu bahwa orang bodoh dan gila tidak bisa dihakimi, karena hal itu akan melanggar kitab undang-undang hukum dadakan.

Harusnya sesuai kitab tersebut, orang bodoh mendekati gila harus diberi ruang dan waktu untuk disembuhkan.Caranya ? Biarkan Jokowi menjadi presiden. Karena dengan itu, kebodohan (niat) dan kegilaan Jokowi bisa sembuh.

Bagi para hakim dadakan sesegera mungkin berhenti agar terhindar dari dosa penghakiman yang keliru. Kembalilah ke jalan yang benar sesuai jabatan awal anda, karena anda toh tidak se-gila dan bodoh seperti Jokowi, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun