Setiap mahasiswa yang akan menamatkan studinya di perguruan tinggi harus menyelesesaikan tahapan Tugas Akhir sebagai syarat utama kelulusan. Tugas akhir studi itu berbeda sebutannya pada setiap tingkatan (strata) pendidikan yang ditempuh. Pada program S0 (D3) disebut Laporan Tugas Akhir, tingkat S1 (sarjana) disebut Skripsi, Tingkat S2 (magister) disebut Thesis, dan tingkat S3 (doktoral) disebut Disertasi. Bila si mahasiswa sudah berhasil menyelesaikan tugas akhir itu maka dia berhak menyandang gelar sesuai tingkatan studinya di perguruan tinggi.
Untuk menyelesaikan tugas akhir, seorang mahasiswa didampingi dosen pembimbing sejak tahap proposal penelitian hingga ujian akhir (sidang akhir). Mekanisme penentuan dosen pembimbing mahasiswa dilakukan oleh pihak perguruan tinggi atas pertimbangan tertentu, misalnya judul penelitian (obyek atau tema penelitian) si mahasiswa dikaitkan dengan kelompok ranah keilmuan/kepakaran dosen.Â
Sebagai contoh di bidang arsitektur—bidang yang saya tekuni—memiliki 6 ranah keilmuan, yakni sejarah teori dan kritik arsitektur, perancangan arsitektur, teknologi bangunan, perancangan kota, arsitektur bentang alam (arsitektur lanskap), serta perumahan dan permukiman. Setiap kelompok ranah keilmuan ini dihuni oleh dosen-dosen yang pakar di bidang ranah tersebut. Jumlah dosen di kelompok ranah tersebut bisa belasan bahkan puluhan orang, tergantung jumlah SDM di perguruan tinggi tersebut.
Seorang mahasiswa yang memasuki tugas akhir  terlebih dahulu harus mengajukan judul penelitiannya ke pihak fakultas (jurusan). Berdasarkan judul atau tema penelitian (dalam bentuk proposal penelitian) itu bisa diketahui kelompok ranah kelimuannya. Dari hal tersebut, pihak kampus menentukan dosen pembimbing si mahasiswa berdasarkan kelompok ranah keilmuan si dosen.
Pengerjaan tugas akhir membutuhkan waktu relatif lama, dan dalam selang waktu itu si mahasiswa harus intensif berinteraksi dengan dosen pembimbingnya untuk konsultasi atau bimbingan, baik itu dengan Pembimbing I, Pembimbing II, maupun pembimbing III. Pada interaksi dan komunikasi inilah seringkali mulai munculnya ‘Mental Block’ si mahasiswa yang menghambat kemajuan proses tugas akhirnya. Maka tak heran, bila ada mahasiswa yang cemerlang pada masa kuliah teori jadi lama lulus. Tugas akhir si mahasiswa terlambat selesai, tidak tepat waktu, si mahasiswa jadi stress, atau malah mengalami DO (drop out) dari perguruan tinggi tersebut.
Mental Block didefinisikan sebagai hambatan pikiran bawah sadar yang akan mengeksekusi apa yang telah dilakukan oleh pikiran bawah sadar. Kondisis mental block inilah menghambat mental atau secara psikologis akan menyelubungi pikiran seseorang karena kejadian masa lalu atau pengalaman hidup yang tidak menyenangkan atau mengalami sebuah kekeliruan mengenai cara pandang (sumber doktersehat.com).
 Jadi pikiran sadar yang bertugas untuk berpikir secara rasional dengan melakukan analisis, perencanaan secara cermat, membuat keputusan, dan mengarahkan kemauan dapat terhalang oleh mental block yang dilakukan oleh pikiran bawah sadar. Kemunculannya bisa berbentuk kecanggungan bertindak, kesulitan berbicara (apalagi di depan umum), kesulitan mengaktualisasikan diri--walaupun sebenarnya memiliki berbagai kelebihan misalnya kecerdasan, sikap yang supel, komunikatif, dan lain-lain.
Munculnya ‘Mental Block’ dalam Proses Bimbingan
Masa tugas akhir berbeda dengan masa penyelesaian teori. Pada masa teori, terutama program strata 0 (diploma) dan strata 1 (sarjana), kelulusan sebuah mata kuliah melewati ujian tertulis setiap semester. Faktor mental block belum terlihat jelas karena si mahasiswa tidak intensif berinteraksi langsung dengan si dosen penguji (pengampu mata kuliah). Kelulusan suatu mata kuliah si mahasiswa ditentukan hasil ujian tulis. Sementara pada jenjang strata 2 (magister) dan strata 3 (doktoral) perkuliahannya lebih banyak dilakukan dengan cara seminar dan presentasi tugas kuliah dan penelitian. Dalam proses tersebut, interaksi dan komunikasi dengan para dosen lebih intensif, terlebih pada mahasiswa tingkat doktoral tiada hari tanpa interaksi-komunikasi (seminar-presentasi) Â terkait materi penelitiannya.
Pada proses interaksi-komunikasi inilah bisa muncul mental block si mahasiswa terhadap salah satu dosen pembimbingnya. Si mahasiswa masuk ke situasi kecanggungan bertindak, kesulitan berbicara, kesulitan mengaktualisasikan diri--walaupun secara teknis sebenarnya dia dikenal sebagai mahasiswa tekun, cerdas, supel, dan komunikatif. Akibatnya, progres tugas akhirnya menjadi terhambat. Disisi lain, si dosen pembimbingnya tersebut bisa jadi dikenal para mahasiswa lain sebagai dosen menyenangkan. Apalagi bila ternyata si Dosen pembimbing tersebut dikenal sebagai 'dosen killer' di kampus. Kalau sudah begitu, lengkap sudah penderitaan si mahasiswa. Belum menghadap sudah 'ciut' duluan. Heuheue...!