[caption id="attachment_325345" align="aligncenter" width="400" caption="gambar :http://lensacembung.files.wordpress.com/"][/caption]
Kita semakin tersentak ketika bergentayangnya beragam informasi tentang sosok sang Capres. Semakin dekat perhelatan Pilpres, semakin kuat sentakan, dan kita pun semakin terhentak. Media da informasi sekarang memang Gila ! Bergentayangan seperti hantu, mengalir seperti angin. Masuk di setiap celah waktu rutinitas kehidupan yang sedang dijalani. Mata ditutup, tapi telinga membuka. Telinga ditutup tapi mata terbelalak. Tapi kita masih punya rasa dan hati nurani. Masih mau penetrasi juga?
Seperti tak henti bernafas, begitulah informasi Copras-Cepres-Capres-Cipres-Cupres mengalir di sekeliling kita saat ini. Melilit kesadaran dan rasa. Mana yang benar? Mana yang salah? Semuanya tak jelas bertahta.
Setiap Capres, apakah itu Prabowo atau Jokowi tanpa mereka sendiri sadari telah menjadi komoditi informasi dan media publik. Orang-orang di belakang mereka yang bahkan tak dikenal sedikitpun, baik pendukung (Lover) maupun penolak (Hater) seperti bersatu mencipta Simulasi citra. Produknya menjadi Simulakrum yang siap santap bagi masyarakat dengan beragam strata pemahaman.
Apa itu Simulasi? Apa itu Simulakrum? Saya coba ambil defenisi sederhana dari bukunya Yasraf Amir Piliang (2004) berjudul ; “Postrealitas”.
Simulasi : “Proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi,fantasi, khayali menjadi tampak nyata”.
Simulakrum : “Sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur”
Konteks informasi sosok capres yang sejatinya nyata di depan mata publik berkembang menjadi sebuah Simulakrum ketika para Lover (pencinta) dan Hater (penolak) saling berperang di ruang media dan maya. Mereka menciptakan simulasi demi simulasi tentang Sosok Capres tersebut. Lebih aneh lagi, para Lover bisa berubah menjadi Hater untuk memperkokoh Lover-nya. Demikian juga sebaliknya para Hater berubah menjadi seolah-olah Lover untuk memperkokoh Haternya.
Akibatnya, masyarakat penikmat media dan informasi menjadi korban. Mereka melihat sosok capresdi ruang publik bagai dekat namun jauh di hati. Serasa jauh tapi dekat di hati. Terjadi pergumulan rasa karena penuh tanya yang belum terjawab tentang kesejatian masing-masing capres. Apa benar mereka begini-begitu?
Segala informasi yang tersebar mempunyai warna beragam, penuh gradasi : hitam pekat, hitam sedang, putih clear, putih susu, abu-abu dan lain sebagainya.Apakah itu kampanye hitam- kampanye putih - kampanye abu-abu tak lagi jelas posisinya. Informasi ini menjadi seperti racun dan obat pada kedudukan yang mengambang, bisa berubah sewaktu-waktu tergantung situasi terkini dalam masyarakat.
Informasi yang telah disimulasikan oleh para Hater dan Lover tadi menjadi sebuah duplikasi dari duplikasi sehingga perbedaan duplikasi dengan aslinya menjadi kabur. Dan ini menjadi seolah santapan ringan yang renyah. Seperti hidangan gorengan saat nonton televisi dan kumpul-kumpul arisan. Seperti hidangan kripik yang menemani saat berselancar maya.
Ditengah kepalsuan informasi dan duplikasi demi duplikasinya, kita mungkin masih bisa berharap pada hati nurani untuk menyelamatkan pilihan. Karena hati nurani kita konon belum bisa ditembus oleh Hater dan Lover capres yang bergentayangan.
Masalahnya sekarang, ditengah-tengah semaraknya hiruk pikuk simulasi dan simulakrum, tahukah kita letak hati nurani? Bagaimana suaranya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI