Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Krupuk Cap Saling-silang Sindir Dalam Kampanye Terbuka

25 Maret 2014   12:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye politik sejatinya adalah gizi yang sehat bagi suatu proses demokrasi.Disitu partai atau calon legislatif menyampaikan segala program kerjanya kepada rakyat. Kampanye ini sangat penting bagi kedua pihak, dimana pemilih ingin tahu program kerja dan mengenali lebih dekat partai atau calon wakilnya di lembaga legislatif. Sebaliknya, partai atau caleg menjadikan kesempatan itu untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka.

Momentum kampanye paling mumpuni adalah secara terbuka atau langsung di depan masyarakat banyak. Disitulah interaksi langsung untuk merekatkan partai atau caleg dengan masyarakat.Apalagi sampai saat ini kapasitas, sifat dan pola-pola sebagian (besar?) masyarakat Indonesia relatif masih tradisional. Artinya mereka tidak terlalu aktif dan intensif memanfaatkan media masa untuk menyelami partai dan calegnya. Ada rasa kurang afdol bila tidak melihat dan terlibat langsung, misalnya : dengan kampanye di lapangan terbuka dan pawai di jalan.

Suasana kampanye terbuka ini dimanfaatkan benar oleh para politikus partai untuk membakar emosi massa peserta : membangkitkan rasa memiliki, rasa kepedulian dan sentimen tertentu.Mereka tentunya relatif menguasai psikologi massa karena sebelumnya sudah dibekali oleh partai bagaimana memainkan emosi orang banyak.

Situasi hiruk-pikuk kampanye terbuka seringkali membuat para juru kampanye itu yang tadinya sebagai pengendali massa justru terlalu larut di dalam emosi massa itu sendiri, sehingga tak jelas siapa yang pengendali dan siapa yang dikendalikan. Program kerja yang disampaikan menjadi penuh bumbu sindiran yang keluar dari konteks, penuh emosional diiringi sorak sorai dan tepuk tangan massa peserta kampanye. Seolah tidak ada yang paling benar selain dirinya yang saat ini berdiri di hadapan massa.

Sindiran pada kadar tertentu sebenarnya merupakan sebuah kritik. Dan kritik menjadi sesuatu yang sangat baik untuk memperkuat eksistensi sebuah wacana atau karya. Secara sederhana, pengertian Kritik adalah suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk pada suatu hasil karya, pendapat, dsb; (http://kbbi.web.id/). Kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan seorang pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kritik)

Pada realitas kampanye terbuka, Saling Silang Sindir terjadi antar partai, baik yang sedang berkuasa, besar, kecil atau yang baru lahir. Wujudnya bisa halus atau kasar - yang seringkali mengarah pada ‘fitnah’ dan hujatan.

Saling Silang Sindir berlebihan membuat bibir penuh busa berbau tak sedap yang ditujukan bukan hanya pada program kerja lawan tapi juga gaya kepemimpinan dan cerita skandal tokoh politik lawan.Walau pun secara kasat media, ada borok didalam partai mereka sendiri, baik oleh ulah tokoh maupun sikap mereka di parlemen yang tengah berjalan.

Saling silang sindir ini seperti krupuk jengkol gurih yang dibagikan kepada orang banyak dalam kampanye terbuka.Mumpung moment itu hanya dimiliki oleh partai bersangkutan layaknya hajatan pribadi, maka pesta krupuk jengkol pun penuh emosi dan menjadi-jadi.

Sudahlah krupuk itu tidak bikin kenyang-justru bikin kembung, tenggorokan seret, dan mulut pun jadi berbau tak sedap. Celakanya, saat kampanye masih berlangsung hal tersebut tidak dirasakan karena dalam suasana kesurupan nikmatnya kerupuk jengkol.

Bila dipikirkan lebih jauh, pesta kerupuk jengkol saling silang sindir ini menjadi tidak sehat lagi. Si pemberi sekaligus pemakan (partai), dan penikmat (rakyat) akan sama-sama menjadi bau, walau dengan kadar yang berbeda.

Dapat dibayangkan hasilnya sesudah kampanye berakhir, sebagian penikmat yang tak kembali sadar akan membawa bau itu dalam tubuhnya lewat lepasan angin kepada orang lain, baik lewat mulut maupun pantat. Artinya terjadi proses cuci otak sakit yang menular. Otak yang sakit akan menyebabkan demokrasi pun menjadi sakit.

Bau mulut memang bisa dikurangi dengan obat kumur. Tapi kalau sudah badan dan buangan gas (maaf : kentut) berbau sangat menusuk, ditambah lagi otak pun berbau...Adakah obatnya?

iiihhh,saya kok jadi takut !  Nanti nggak ada cewek cantik yang mau dekat saya. Heu..heu..heu..Celeguk !

Tertanda

Pebriano Bagindo

(Bukan Pelahap Krupuk Jengkol)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun