Tak terasa Kompasianival2016 sudah di depan mata. Perhelatan ini selalu ditunggu-tunggu, seperti ingin memetik buah di musim panen. Seperti pesta gawai padi, sebuah pesta syukur atas panen tahun musim tanam.
Disana ada suasana pesta. Ada suka dan ada pertemuan orang-orang kampung di kebun dan sawah. Saling bertegur sapa di pematang. jalan setapak, jalan kampung, di halaman rumah dan pasar. Para anak rantau pulang kampung untuk membantu kerabat keluarga. Malamnya dangdutan di lapangan balai desa. Beberapa orang mungkin memadu kasih di remang malam, saling berbagi cerita tentang rantau. Memberi gambaran tentang sebuah cita-cita kedepan.
Setinggi cita ditautkan, sejauh kaki melangkah dan raga berpindah tempat melang-langbuana seantero wilayah, tapi pesta panen menjadikan setiap diri tak menghilangkan kerinduan dan harapan akan pertemuan di kampung. Kembali rindu akan aroma lumpur, tanah yang basah, pekik ternak, keliaran burung dan tupai di beranda halaman, dan gigitan semut aneka warna ; merah-hitam-kuning-biru-hijau dan aneka penyengat. Mungkin ada yang pernah dipatuk ular, atau hampir kelelep di sungai saat mandi dengan kerbau dan sapi.
Tak semua cerita kampung menjadikan raga mulus dan bersih, ada bekas goresan luka kecil, tapi itu semua menjadi sebuah kristal kerinduan bersama. Terpajang indah di ruang terdepan dan terkini setiap diri yang terdiaspora jaman.
Itulah harapan akan sebuah Kompasianival. Sebuah Pesta Kampung dalam kebersamaan untuk tetap menjadikan diri sebagai warga sekampung walau baju dan pikiran sudah meng-Kota.
Kompasianival2016 ini akan jadi momen ketiga saya selama menjadi warga kampung Kompasiana.
Kompasianival tahun 2014, pada saat itu saya sebagai warga baru yang belum cukup umur. Masih kecil. Ingus keluar masuk hidunh. Sebagian menempel dan mengering di pipi. Terkadang tak bercelana, namun saya sudah ikut pesta kampung Kompasiana. Berlari kesana-kemari, menyapa para tetua kampung, bergelayut dan sesekali berlaku usil sebagai petanda jiwa kanak-kanak.
Kompasianival 2015, saya sudah akil balig, bulu halus tumbuh disekujur tubuh, suara berubah berat dan sedikit nyaring. Sebagai abg sudah mengenal malu-malu. Di pesta itu, saya tak bisa berlama-lama hadir karena bu guru hanya mengijinkan pesta beberapa jam.
Usai pesta kampung itu saya jadi sedih. Pak Camat batal hadir di panggung dangdut kemudian mengundang sejumlah warga makan siang di Istana Rakyat. Usai pesta, kampung pun menjadi rusuh. Suasana gerah. Saling tuduh dan curiga. Entah mengapa. Saya yang masih abg merasa bersalah telah ikutan di undangan makan siang Pak Camat itu. Saya seolah merasa belum cukup umur untuk berpantas di undangan itu. Pesta kampung tahun itu menjadi 'Tragedi Pesta Kampung'. Ah, tapi sudahlah...itu masa lalu. Kadang saya tak ingin mengingatnya lagi. Tapi tak mungkin, karena itu kampung saya. Tempat saya mulai lahir dan bertumbuh. Biarlah menjadi kenangan tersendiri.
Kini, Kompasianival2016 saya ingin kembali hadir. Datang sebagai orang kampung yang merindu suasana pesta panen. Berkumpul kembali dengan sanak kerabat dan teman. Menyatukan kembali tali-tali kasih yang dulu mungkin renggang dengan menyatukan rindu bersama dalam canda tawa. Kali ini, saya berharap tak ada lagi 'Tragedi Pesta Kampung'. Semoga...
Mari datang di Kompasianival2016, pesta kampung kita. Bagi teman dan kerabat yang tak bisa hadir, akan kukabarkan ceritanya nanti sebagai pengobat kerinduanmu..