[caption caption="Sumber gambar ; http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/632185/big/politik-uang-140201b.jpg"][/caption]"Kalau banyak orang bodoh dan miskin tak lagi bersikap simpatik, maka sejumlah kecil orang pintar menemukan Kebodohan di tangan orang culas."
Demikian pikiran spontan muncul setelah membaca ulasan singkat Bapak Musni Umar berjudul "Demokrasi Orang Bodoh dan Orang Miskin".
Saya bukanlah ahli politik-demokrasi dengan ragam reori akademis yang sahih, melainkan hanya rakyat kebanyakan yang beruntung mengikuti demokrasi tersaji. Kemudian menjadikannya endapan berharga, bukan menguap begitu saja. Dari endapan tersebut muncul keberanian urun-rembug untuk memperkaya ulasan-wacana tersebut.
Pada ulasannya itu diungkapkan sejumlah fakta dalam pemilukada serentak ; Pertama, calon yang sudah jelas-jelas korupsi masih dipilih rakyat. Kedua, politik uang (money politic) masih merajalela dalam pemilukada serentak. Ketiga, para elit yang berpendidikan masih korupsi-tidak memberi contoh teladan kepada masyarakat.
Sejumlah data statistik disertakan untuk menjelaskan realitas bahwa masih banyak masyarakat yang 'berpendidikan' rendah, miskin, menganggur. Realitas itu dijadikan barometer untuk melihat terjadinya transaksi 'money politik'.
Lebih lanjut dikatakan ada simbiosis mutualistis antara pemilih dan calon kepala daerah dalam pilkada. Pemilih butuh uang dan calon kepala daerah butuh dukungan suara, maka terjadi transaksi jual beli suara, yang dikenal dengan istilah politik uang (money politic).
[caption caption="Sumber gambar ; https://kabarsoloraya.files.wordpress.com/2009/06/money_politics_parlemen.jpg"]

Solusinya Pendidikan?
Sebuah solusi dikemukakan, bahwa Pendidikan menjadi kunci terpecahkannya masalah "Demokrasi orang miskin dan orang bodoh". Kalau memiliki pendidikan 'tinggi' akan meminimalisir terjadinya Demokrasi yang Bodoh. (money politik)
Demokrasi di Dalam Masyarakat
Kalau melihat masa lalu, masyarakat kita sebenarnya sudah mengenal Demokrasi. Mereka tahu aturan berdemokrasi untuk memilih pemimpin. Patuh pada aturan bersama yang sudah disepakai. Padahal masa itu pendidikan mereka tidak tinggi. Lihat saja pada pemilihan pemimpin tingkat RT, RW, Dusun, Kampung atau Desa di era sebelum Politik Modern ( pasca reformasi ? ) menjadi tren di media massa. Jarang timbul pertikaian dan politik uang. Jarang terjadi sengketa panjang. Masyarakat masih perduli dengan pemimpinnya dan keberlanjutan pembangunan di wilayahnya.