[caption id="attachment_338383" align="aligncenter" width="680" caption="http://jogja.tribunnews.com/foto/berita/2011/1/4/sejarah.jpg"][/caption]
Sejarah adalah masa lalu yang ditulis menurut perspektif penulis. Penulisan sejarah tak lepas dari kepentingan dan setting si penulis yang disadari atau tidak menjadikan sejarah itu tidak lagi murni tentang cerita masa lalu. Frame yang digunakan bersifat terbatas, baik data, daya jelajah merasakan situasi masa lalu, kemampuan artikulatif- penyampaian dan tentu saja kepentingan penulisan itu sendiri.
Penulisan sejarah akhirnya seringkali menjadi sebuah perdebatan yang tiada henti. Ada beragam kebenaran yang diciptakan dan diklaim masing-masing pelaku sejarah dibalik realitas dan fakta kejadian di masa lalu.
Konon negara Jepang tidak mengajarkan sejarah bangsanya sebagai bangsa penjajah. Ini yang seringkali membuat bangsa Korea berang. Perang yang dilalui Jepang ditulis pemerintahnya menurut versi negara Jepang. Hasilnya seolah mereka menutupi kekejaman yang pernah dilakukan.
[caption id="attachment_338384" align="aligncenter" width="680" caption="http://www.indonesiamedia.com/wp-content/uploads/2010/12/0111_M_sejarah_Peristiwa-Pembrontakan-Madiun-1948-300x198.jpg"]
Penulisan sejarah G30 S/PKI tak lepas dari kepentingan rezim orde baru, sehingga faham komunis menjadi hantu menakutkan bagi generasi baru di bumi Indonesia hingga sekarang. Komunis menjadi barang yang menjijikan dan harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Bahkan sampai ketanahnya sekalian harus dibuang.
Belajar sejarah perjuangan bangsa selain memberi ilmu dan wawasan, juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme. Apalagi bila narasi tulisan maupun lisan disampaikan dengan diksi-diksi yang menawan. Otomatis aura masa lalu terbangun dan mampu menciptakan spirit nasionalisme tersendiri. Pada masa orde baru tidak boleh ada pemikiran alternatif seperti yang terjadi sekarang ini. Penafsiran sejarah adalah milik rezim. Pemikiran diluar itu akan mendapat tindakan tegas.
Teringat Pelajaran Sejarah di SMA Jaman Dulu
Teringat pada jaman SMA tahun 1980-an ada pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Isinya tentang perjuangan masa kemerdekaan sampai peristiwa 30 sepetember 1965 . Pelajaran PSPB terpisah dari pelajaran Sejarah Indonesia (berisi materi sebelum masa kemerdekaan) dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Ketiga mata pelajaran itu bak Trisula yang wajib diajarkan di bangku sekolah.
[caption id="attachment_338385" align="aligncenter" width="680" caption="http://2.bp.blogspot.com/-igZ_DPRC_rc/T2VncuazLVI/AAAAAAAAAWA/1-Zn8A2jj5w/s640/sejtitle.gif"]
Guru yang mengajarkan PSPB disekolah saya adalah seorang yang sudah tua. Dia (katanya) pernah ikut bertempur masa penjajahan Jepang. Dan juga pernah menjadi anggota perumus buku sejarah. Kalau mengajar dia selalu menggebu-gebu bercerita sejarah. Semua siswa harus menyimak, suasana kelas pun jadi hening. Tak boleh ada yang ribut, karena akan dimarahi. Dianggap tidak hormat terhadap pahlawan dan sejarah bangsa.
Suatu ketika saat pelajaran, beliau memberi kesempatan siswa untuk bertanya. Saya tunjuk jari, bukan bertanya tapi memberikan pendapat. Saya katakan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hasil sebuah kemenangan perang para pejuang saat itu, tapi karena kosongnya penjajahan di Indonesia setelah Jepang pergi karena moralnya runtuh akibat bom atom yang dijatuhkan sekutu ke Hiroshima dan Nagasaki. Bom atom sekutu yang berperan membuat Indonesia merdeka. Saat kosong kekuasaan penjajah itulah para pejuang kemerdekaan dengan cerdik memanfaatkan momen menyatakan Indonesia Merdeka. Kita merdeka secara tidak langsung atas bantuan Sekutu, bukan karena kemenangan perang yang heroik para pejuang. Kalau Jepang tidak kalah dari Sekutu belum tentu kita merdeka.
Belum selesai penyampaian saya, pak guru langsung memotong uraian saya. Raut mukanya berubah, menatap saya tajam dan tampak marah besar. Kelas jadi hening, semua mata di kelas tertuju pada saya, seolah saya tertuduh dan menjadi orang asing.
Bapak guru itu memang marah besar. Saya dikatakan tidak hormat pada pejuang bangsa, menghina sejarah dan negara dan lain sebagainya. Saya kembali angkat bicara untuk memberikan argumentasi, tapi kembali dipotong beliau. Saya diingatkan untuk hati-hati bicara karena bisa dianggap subersive. Berkali-kali hal itu dikatakannya dengan nada tinggi. Pada pertemuan selanjutnya saya menjadi perhatian khusus beliau. Selalu diingatkan jangan berpikir yang aneh-aneh. Sejak saat itu saya memilih diam.
Saya tidak bermaksud melecehkan sejarah, melainkan hanya mencoba berpikir alternatif atau kemungkinan lain. Kebetulan memang sejak masa sekolah saya dianggap teman-teman sebagai orang yang suka ‘aneh sendiri/nyeleneh’ cara berpikirnya. Mereka mengatakan kali ini saya kena batunya. Ha..ha..ha..! Pengalaman itu sungguh berkesan bagi saya.
Pada masa itu tidak banyak buku buku pemikiran alternatif tentang peristiwa masa lalu (sejarah) karena sangat sensitif. Tidak seperti sekarang, beragam judul buku yang dijual di toko-toko resmi tentang kisah sejarah kemerdekaan, peristiwa G30 S/PKI, bagaimana lahirnya orde baru-rezim Soeharto, peristiwa reformasi dan otografi tokoh-tokoh sejarah.
Sejarah nampak begitu bebas ditafsirkan hitam dan putih sesuai setting penulisnya. Ini menambah wawasan dan tentu saja rasa was-was kalau-kalau pembacanya menjadi apriori terhadap sejarah bangsa sendiri. Kemerdekaan berpikir masa sekarang jauh lebih terasa dibandingkan masa orde baru, bukan?
Apapun kontroversi dibalik sejarah, bagi saya tidak akan mengurangi rasa nasionalisme dan kecintaan pada bangsa dan negara ini. Apa lagi saya sekarang adalah abdi negara,heu..heu..
Sejatinya, sejarah mesti disampaikan secara jujur karena itu adalah masa lalu yang menjadi landasan bagi masa depan. Bila masa lalu yang pahit tentunya jadi pembelajaran agar di masa depan tak lagi terulang.
Sebagai penutup saya ingin mengutip kalimat indah :
“Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri tetapi mereka tidak dapat membuatnya sebagaimana yang mereka inginkan; mereka tidak menciptakan sejarah dibawah kondisi yang dapat mereka pilih sendiri tetapi dibawah kondisi yang secara langsung dihadapinya, diberikan dan diteruskan dari masa lampau”(Marx D.Engels, 168:97).
Dirgahayu Bangsaku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H