Sebuah pesan : “Pilihlah sesuai panggilan hati nurani” sering didengungkan kepada masyarakat saat pemilu akan berlangsung. Tentunya ditujukan kepada orang yang punya hak pilih untuk memilih calon pemimpin, baik nasional maupun daerahnya. Pesan itu ingin mengingatkan masyarakat pemilih untuk memakai Hati Nurani sebagai pemandu dalam mengambil keputusannya di bilik suara.
Hati nurani bersifat individu, dan merupakan hak setiap orang dengan dirinya sendiri. Otoritas hati nurani mutlak pada setiap individu itu sendiri. Di dalam hati nurani ada pesan moral, yang menyatu dalam setiap individu manusia. Konsekuensi keberadaannya dalam moral adalah si manusia mengalami penderitaan mental dan rasa bersalah bila menentangnya. Sebaliknya si manusia menjadi damai dan senang bila tindakan, pikiran dan perkataan sesuai dengan nilai yang manusia tersebut anut. Hati nurani bereaksi saat tindakan, perbuatan dan perkataan seseorang sesuai, atau bertentangan dengan, sebuah standar mengenai benar dan salah.
Hati nurani memuat tiga konsep kebenaran utama, yakni :
Pertama, hati nurani merupakan karunia Tuhan kepada manusia untuk mengevalusi dirinya. Segala pikiran, perkataan, dan perbuatan sejatinya sesuai dengan sistem nilai dan moral yang dianut oleh seorang individu. Standar tertinggi yang digunakan adalah standar Tuhan.
Kedua, hati nurani merupakan saksi atas sesuatu, yakni kehadiran hukum Tuhan yang tertulis dalam hati setiap individu. Hati nurani menjadi saksi atas kebenaran dan ketulusan seorang dalam berelasi dengan orang lain.
Ketiga, hati nurani merupakan pelayan dari sistem nilai seseorang. Sistem nilai yang tidak matang atau goyah akan menghasilkan hati nurani yang lemah. Sementara sistem nilai yang beradab akan menghasilkan pendirian yang kuat mengenai yang benar dan salah. Sebaliknya sistem yan tidak berada menghasilkan pendirian yang lemah.
Hati nurani yang lemah bila mendapatkan informasi-informasi yang keliru memunculkan prasangka, ketakutan dan kebencian. Itulah perlunya seorang individu memiliki pemahaman yang matang akan nilai-nilai (kebenaran). Di sisi lain, seorang yang memiliki pemahaman nilai yang kuat atau hati nurani yang kokoh sejatinya bisa bertindak bijak agar tidak menyebabkan orang lemah menjadi marah; prasangka, ketakutan dan timbul kebencian sebab ketidaktahuannya atau karena kelemahannya tersebut.
Realitas Pilkada memuat dinamika politik yang tidak bebas nilai. Ada nilai-nilai lain yang ‘masuk’ kedalam Pilkada oleh beragam kepentingan pragmatis, kemudian dipahami masyarakat dan menjadi realitas politik di dalam masyarakat itu sendiri. Faktor tujuan pragmatis-politis menjadi salah satu faktor pilkada yang sudah diatur kebenarannya oleh undang-undang (kenegaraan) kemudian menjadi tidak bebas nilai.
Berbeda dengan adigium di ilmu pengetahuan. Bebas nilai menjadi tuntutan ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Itulah mengapa “Teori Darwin” tak bisa dicampur adukan dengan Keyakinan akan “Adam dan Hawa’ dalam wacana munculnya manusia di muka bumi ini.
Seorang calon pemilih berada dalam situasi sulit ketika harus memilih. Begitu banyak faktor yang dia dapatkan dan alami dalam konstelasi politik. Beragam arus informasi, situasi dan kondisi sosial lingkungan si pemilih, tekanan politis baik langsung maupun tidak langsung, serta faktor-faktor lainnya menjadikan dirinya harus berkelahi dengan hati nurani yang menuntut kebenaran sejati.