Memang hanya ada kau di rinai hujan saat tetesnya tak henti menghajar dinding sepiku.
Mataku tidak buta. Berpesta ia pada cahaya dan gambaran sosokmu. Masih kulihat setiap perubahan arah angin yang mencoba menggoda rasa.
Telingaku tidak tuli. Ia bermegah diri di keseimbangan. Ditangkapnya sayup isak terakhirmu di detak tetes air.
Tapi entah kenapa kupinta bibir menghadapi mata dan telinga.
Kuciptakan kata-kata indah. Kususun sederhana. Tanpa sayap dan jeda yang menjemukan. Kusampaikan perlahan. Berharap mereka mau mengerti.
Kukatakan tak ada lagi nadi berdenyut untuk cinta. Karena telah dingin, kering dan pecah-pecah sebelum rinai hujan tiba.
Hanya ada kau di rinai hujan saat tetesnya tak henti menghajar dinding sepi.
Aku tahu.
Mata dan telinga kemudian bersekutu. Sangat masif. Mereka bunuh Eustasius di simpul lorongku. Diam-diam mereka ciptakan jargon kutukan baru "Jangan percaya bibir! ".
Aku mahfum.
Kutukan pada bibir adalah nubuat mereka. Seperti rantai bersambung. Layaknya tikus beranak pinak tak kenal musim. Selalu riuh.
Kini yang kuandalkan hanya bibir
Tapi sepi telah banyak mengajarkan padaku. Ia serukan biarkanlah kutukan itu menyala di sumbu takdirku. Memporak-porandakan nasibku.
Aku yakin mereka lupa bahwa bibir adalah pemilik kata-kata. Jembatan dan tempat menuju keabadian
Mungkin itulah mengapa aku pilih bibir sebagai saksi sejarah ketika rinai hujan menghajar dinding sepi. Dan akupun tetap berdiri kokoh walau tanpa cinta !
-----
Â