"Memiliki Transkrip Nilai tinggi (IPK) saat sekolah atau kuliah itu penting dan utama. Untuk hal lain, urusannya belakangan! "
Sekilas pernyataan ini tampak 'sombong' dan 'tak etis' bila dipandang dari tujuan pendidikan membentuk manusia bernilai luhur. Bandingkan pernyataan 'idealis' ini ; "Tingginya Transkrip Nilai itu tidak penting, yang penting adalah kepribadian dan etos di dunia kerja.
Bila dipandang dari sisi lain, pernyataan pertama itu tak bisa sepenuhnya disalahkan. Kenapa demikian?
Pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) tak semata hanya membentuk 'manusia. berbudi luhur' sesuai misi-visi PT', namun juga harusnya menghadapi realitas di depan mata usai si Mahasiawa lulus. Salah satunya adalah ikut seleksi mencari kerja atau mendapatkan beasiswa. Salah satu tahapan awal penilaian pihak lembaga yang menyeleksi adalah transkrip nilai.
Untuk mendapatkan nilai tinggi tidak semata kemampuan si Mahasiswa (kala masih kuliah), namun juga ditentukan 'culture' menilai perguruan tinggi dan fakultas/jurusan tempat si Mahasiswa menuntut ilmu. Ada perguruan tinggi atau jurusan yang sangat 'pelit' memberikan nilai kepada mahasiswa dengan pertimbangan 'Menjaga kualitas dan martabat' perguruan tinggi/jurusan. Namun sisi lain ada pula perguruan tinggi/jurusan yang relatif longgar memberi nilai.
Dalam suatu kota pendidikan ada banyak perguruan tinggi. Katakanlah terdapat lima perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang dikategorikan elit/papan atas/bermutu. Namun bisa jadi, dalam satu jurusan yang sama terdapat perbedaan sistem penilaian di tiap perguruan tinggi. Ada yang sangat ketat dan pelit, ada yang sebaliknya. Akibatnya bisa diterka IPK para lulusannya. Kenapa demikian?
Contoh salah satu faktor beda misalnya fakultas/jurusan 'Anu'. Ketika dibandingkan beban tugas mahasiwa ternyata tidak sama. Ada sejumlah tugas kuliah di perguruan tinggi tertentu dikerjakan secara kelompok, sementara mata kuliah pada jurusan yang sama di perguruan tinggi lain dikerjakan individual berikut tambahan jumlah materi tugas. Tentu saja beban kerja mahasiswa ini lebih besar dan menyita waktu, pikiran, dan biaya. Lebih celakanya lagi walau sudah baik dalam tugas namun nilai yang didapatpun tidak tinggi.
Otoritas Dosen dan Kejamnya Penilaian
Persoalan nila IPK tak luput dari 'otoritas' sang Dosen pengampu mata kuliah. Dengan berdasarkan kurikulum (yang tentunya sama dengan perguruan tinggi lain), si Dosen mengembangkannya lebih lanjut di acara perkuliahan, termasuklah 'memberi beban tugas' dan materi kuliah. Begitu juga soal penilaian akhir.
Ada tipe dosen yang kejam memberi materi kuliah dan tugas, ditambah pelit dalam penilaian. Ada yang kejam memberi tugas dan materi kuliah tapi 'baik hati' dalam penilaian. Ada dosen yang 'longgar' memberi materi kuliah dan tugas tapi sangat pelit dalam penilaian. Ada yang 'sudahlah longgar masih juga baik hati dan tidak sombong' dalam penilaian akhir. Mana yang lebih baik? Heu heu heu...! ini bisa jadi perdebatan tersendiri. Namun itulah realitasnya.