Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Andai Ahok Seorang Juara Olimpiade, Apakah Juga Akan Didera Isu SARA?

31 Maret 2016   19:14 Diperbarui: 1 April 2016   10:53 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar ; http://static.republika.co.id"][/caption]Fenomena Ahok merupakan realitas politik kontemporer negeri ini. Sebuah realitas kekinian yang campur aduk di tengah permasalahan politik bangsa dan kerinduan publik untuk menjadi bangsa bermartabat.

Ahok bukan sosok 'pahlawan' yang mulus di mata publik. Dia bukan seperti juara dunia atau Olimpiade yang bisa menyatukan semua pihak dalam satu kebanggaan bersama sebagai sebuah bangsa besar di mata dunia. Sebuah sosok 'pahlawan bangsa' perebut gelar juara yang mampu mengangkat nama negara.

[caption caption="Ilustrasi. Sumber gambar: lh3.googleusercontent.com"]

[/caption]Ahok Bukan Sosok Juara ?
Olahraga berbeda dengan Politik. Bagi publik, juara dunia atau Olimpiade atau juara PON sekalipun yang telah berjuang bagi negara atau daerahnya dengan segenap hati, raga dan jiwa tak lagi dipandang dengan kacamata SARA: apa warna kulitnya, bentuk matanya, jenis rambutnya, siapa Tuhannya, dan ragam pernak-pernik pribadinya.

Sementara dalam politik, sebaik apapun seseorang tokoh politik/pemimpin bekerja untuk publik tanpa terkecuali, selalu ada kelompok masyarakat yang tak memandangnya sebagai sebuah prestasi. Karena di dalam politik, unsur 'like and dislike' pada sosok politikus/tokoh didasarkan banyak faktor, misalnya ideologi publik-partai yang bercampur dengan isu-isu lain. Kalau perlu keberbedaan pada SARA diangkat. Kenapa demikian? Lalu di mana kebanggaan milik bersama seandainya si tokoh politik/pemimpin telah berbuat banyak (berprestasi) bagi publiknya?

[caption caption="Ahok. Sumber gambar: detik.com"]

[/caption]Kontroversialitas Publik terhadap Ahok?
Keberadaan Ahok selaku tokoh politik yang menjabat Gubernur yang cemerlang adalah sebuah 'keanehan' bagi sebagian publik di negeri ini.

Kalau Ahok cemerlang jadi pengusaha orang akan menganggap biasa. Seorang Ahok 'dianggap pantas' melakoni dunia usaha.

Kalau dia cemerlang jadi juara Olimpiade atau Juara dunia orang mendukung dan menyambutnya bak 'pahlawan'. Berapa pun hadiah yang dia terima dari sponsor yang menambah pundi kekayaannya, publik tak mempermasalahkannya. Dia wajar menerima semua itu. Tapi begitu dia cemerlang di bidang politik (jadi gubernur ibu kota) maka sebagian publik justru jadi 'aneh'. Mereka 'menolak' seorang Ahok menjadi pemimpin Jakarta (publik). Ahok dianggap 'tidak pantas' menjadi pejabat publik. Padahal, Ahok memberi pelayanan publik yang lebih baik, meningkatkan kualitas lingkungan binaan (permukiman, ruang publik, infrastruktur, dll).

Ahok sebagai pejabat publik yang cemerlang menghasilkan sesuatu yang real bagi publik itu sendiri. Mereka menikmati langsung apa yang dikerjakannya. Wujudnya nyata, bisa disentuh dan digunakan bagi hidup dan masa depan publik. Ahok bukan hanya sekadar memberi rasa bangga dan euforia pesta pora sang juara.

Ahok bekerja bukan untuk menjadi kaya raya, bukan untuk mendapatkan bonus sponsor, bukan untuk mendapatkan nama besar dan jadi legenda. Ahok bekerja untuk negara seperti pejabat-pejabat lainnya yang amanah pada konstitusi dan janji jabatan.

[caption caption="Ahok, dalam pakaian resmi sebagai gubernur.  Sumber gambar: 2.bp.blogspot.com"]

[/caption]Ahok sebagai Bentuk Kritik Kebangsaan yang Hidup
Terlepas nanti apakah dia menang atau kalah dalam Pilgub DKI 2017, kehadiran Ahok sebagai pejabat publik bagaimanapun harus disyukuri sebagai pembelajaran pembentukan 'kebangsaan' negeri ini.

Sosok Ahok dalam pesta demokrasi masyarakat Jakarta tahun 2017 telah menjadi kritik paling seronok tentang 'kebangsaan' yang selama ini disuarakan. Kritik ini membuka kemunafikan sejumlah elit bangsa, lembaga masyarakat, dan masyarakat luas dalam menjalankan dan memahami makna kebangsaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun