[caption caption="https://gepkinthb.files.wordpress.com/2014/10/mudainspiratif-belenggu.jpg?w=300"][/caption]
Baru tadi ikut pak Kadus menimbang karet. Tauke bilang harga tak naik, masih 6000. Ini masih mendingan. Hujan turun lebat beberapa hari, jalan tanah rusak parah, angkutan payah masuk. Tapi harga 'sudah baik'.
Seingat aku, dua bulan kemarin harga cuma Rp 4500,-. Musim kemarau, jalan tanah keras dan berdebu. Angkutan tak sepayah berkubang. Tapi juga tak mampu menolong harga.
Kala itu aku duduk di bawah rimbun pohon. Bersama sekelompok petani yang merajuk tak mau menoreh. Mereka tak mau bertarung sia-sia di hutan dan kebun karet dari jam 02 dini hari sampai jam 07 hanya untuk Rp.4500,-.
Dimakan nyamuk, digigit dingin malam, kalau tak awas dipatok ular dan kelabang.
Beberapa orang nostalgia, ingin kembali ke jaman dulu, saat krismon menghantap negeri. Harga mereka meninggi, setinggi langit. Mereka bisa bayar kredit, lunas ! Bayar anak sekolah, dan menabung.
Aku diam menyimak. Tanpa kata satu pun. Benak gelisah, yang tergambar di memoriku justru ragam berita korupsi ratusan milyar para elit. Dan wajah-wajah ceria mereka berpidato dan diwawancarai bagai pahlawan. Kadang melambaikan tangan di televisi, bahkan tanpa beban saat memakai rompi oranye.
Aku diam dengan emosi tertahan. Sambil melihat jalan tanah becek di kampung pedalaman ini.
Tadi kami berkubang membawa karet. Roda motor buntut dan bodong tergelincir di tepian, hampir melempar kami ke jurang dalam.
Bensin pesta di tangki motor, dompet pun koyak dalam
Karet sejatinya jadi ATM warga
Tapi nyatanya untuk jadi sekedar warung pun tak mampu. Cuma jadi seperti sarang binatang pohon.
Sekedar untuk berteduh dan bertahan hidup
Kembali terbayang wajah-wajah korupsi
Aku mendidih!
Aku ingin teriakkan Merdeka !
Bukan untuk negeri ini, melainkan negeri yang bar. Ditanah yang sama.