Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kalah telak pada Pilgub DKI. Harapan besar untuk jadi gubernur telah pupus. Namun dia tidak hilang muka. Dengan jiwa ksatria dia akui kekalahan di depan publik dan secara langsung menelpon kedua kompetitornya yakni Ahok/Djarot dan Anies/Sandi. Simpati publik diterimanya. Tren positif diraihnya sebelum meninggalkan gelanggang. Catatan manis, walau mungkin tak banyak telah dia toreh. Catatan ini kelak jadi investasi politiknya di masa depan.
Posisi kalah tak menjadikan AHY tidak lagi penting di perhelatan Pilgub DKI yang terus berlanjut. Justru kini dia menjadi Lelaki Politis yang seksi dimata kedua mantan kompetitornya berikut para pendukung mereka. Seorang AHY punya amunisi sisa yang ditunggu-tunggu kedua mantan kompetitornya. Akan diberikan kemana, sementara 'perang' masih berlanjut?
Sudah banyak analisis dan prediksi politik dibuat kalangan politik maupun awam terkait arah dukungan AHY terhadap kedua mantan Kompetitornya yang lanjut bersaing di putaran kedua Pilgub DKI.
Semua analisis dan prediksi yang tersebar didominansi hitung-hitungan politik oleh pengamat. AHY ditempatkan sebagai obyek pengamatan. Ruang AHY adalah ruang kaca pengamatan banyak pihak.
Mereka tidak masuk ke ruang itu secara total, melainkan cukup berada di tepi luar ruang dengan mata membelalak dan berbekal ragam dalil matematika politik dan sosio politik yang rigit. Para pengamat itu adalah kaum positivistik, yang setiap mengeluarkan analisis didahului landasan dugaan, hipotesa, teori dan mazhab berpikirnya sendiri. Cara mereka melihat AHY berbekal tendensi-tendensi 'pribadi', bukan apa yang ada di dalam diri AHY. Bahkan ini pun dilakukan oleh orang-orang di lingkaran dekat AHY.
Namun pernahkan mereka coba 'mengetahui' dan 'memahami' apa yang ada di ruang pikiran AHY yang 'terlanjur ditakdirkan' memiliki sejumlah label yang lekat di dirinya? Dia sebagai mantan perwira TNI, sebagai seorang anak politikus, dan dia kini sebagai seorang pelaku politik yang mandiri.
Sebagai contoh; Seorang anak tampak menangis di tepi lapangan pertandingan. Secara umum, berdasarkan data-data pengamatan diluar arena bahwa si Anak menangis karena Kalah bertanding. Dilihat dari dimensi menangisnya, si Anak merasa gagal dan menyesal. Dilihat dari kronologis dan skor pertandingan si Anak banyak melakukan blunder dan tak maksimal menjalani pertandingan.
Padahal bila saja pendekatan etnografis (dengan deep interviwe), semua itu salah besar. Ternyata terungkap bahwa si Anak menangis karena dia sangat menikmati pertandingan itu. Dia sangat menyenangi permainan lawan-lawannya dan ingin selalu dekat dengan mereka walau tak lagi bertanding, namun besok dia diharuskan pulang cepat sesuai ketetetapn tim official. Bila sudah kalah, tak perlu menunggu sampai final, segera pulang pakai bisa pagi-pagi. Hadeuuh...!
Bagaimana dengan AHY?
Sebagai manusia biasa, saat ini AHY sedang berkelahi dengan dirinya sendiri. Diluar dirinya begitu banyak pilihan yang datang menyodorkan diri. Semua menawarkan yang terbaik menurut versi mereka, bukan versi AHY. Tawaran itu saling berperang satu sama lain menjadi sebuah hiruk-pikuk tersendiri. Menjadikan seorang AHY teralienasi dari masalah sebenarnya.