Yth. Kompasianer Prof Felix Tani
di Gang Kandang Sapi
Dengan hormat,
Salam sejahtera untuk saya semua.
Saya sudah membaca humor kritik anda soal jargon 13 tahun Kompasiana yang sudah disosialisasikan.
Saya berpikiran telah terjadi kesalahpahaman dari pandangan ke pemahaman saudara pada jargon tersebut. Namun saya tetap menghargai sudut pandang tersebut sebagai sebuah dinamika wacana bercelana.
Perlu saya jelaskan bahwa 'Noise' dan 'Voice' sebenarnya saudara dalam satu per-susu-an walau beda orang tua. Sampai kini mereka tetap  saling memahami, walau seringkali berbeda dalam banyak hal.
Saat keduanya masih bayi dan dalam masa menyusui, 'Noise' menyusu di puting sebelah kiri, sedang 'Voice' di puting sebelah kanan.
Saat menyusu itu Noise selalu resek. Bergumam tidak jelas. Mulut-lidah-bibirnya berdecak-decak seperti becek. Ketika ditanya apa maunya, Noise tidak pernah jelas mengutarakannya. Selain itu tangannya tidak bisa diam. Selalu gratil. Sehingga situasi persusuan menjadi riuh. Jauh dari suasana khusyuk.
Sementara di sebelahnya ada 'Voice' saudaranya- yang selalu bersikap tenang, tanpa bunyi saat beraksi. Voice selalu jelas mengutarakan kemauannya, misalnya ; "Uuh, nikmat bangeet!" ; "Mantap!" ; "Aku nambah ya!" ; Lanjuut nih !" , dan seterusnya.
Hukum semesta memberikan energi yang sama pada Noise dan Voice dari persusuan tersebut. Di sisi lain ada satu hukum persusuan yang kontoversial, namun banyak benarnya, yakni ; "Persaudaraan dari satu persusuan yang berbeda orang tua cenderung menjadi laksana dua kutub saling berseberangan, tetapi dekat dalam dimensi jarak."
Dari sejarah itu maka diangkatlah tema Noise dan Voice ke dalam satu bingkai "sustainable saudara persusuan masa kini". Pada 13 tahun Kompasiana inilah jadi momen yang tepat.