Karena di dalam dunia kelembagaan birokrasi, seseorang "sudah dipatok" hidupnya akan "selamanya" disana, bahkan ketika pensiun pun lingkungannya relatif cenderung "itu-itu saja". Kalau tidak berjuang dalam karier birokrasi, untuk apa menghabiskan sebagian besar hidup di lembaga itu? Karier bukan semata uang gaji, tapi harga diri dan 'tauladan' bagi keturunan, keluarga besar, dan entitas sosial.
Berbeda dengan para politisi yang relatif lebih dinamis dan ekspresif. Saat ini jadi pendukung si X, besok jadi pendukung si Y, lusa jadi pendukung si Z. Sambil berpolitik, seorang politisi bisa menjadi pengusaha kaya raya, atau selebiritis dan public figure di berbagai arena.Â
Dia bisa berbaju warna kinclong walau tidak mecing dengan bodi dan warna kulit. Bisa tertawa dengan mulut lebar walau bergigi palsu. Boleh bersuara sekerasnya walau suaranya sumbang. Tak perlu sungkan berjoget dengan liukan bebas, walau bikin sakit mata banyak orang.
Sementara ASN, untuk tertawa, bersuara, dan meliukkan tubuh sudah ada aturannya (protap). Baju dinas ASN seragam, paling beda size nya saja. Penampilan wajah diatur sebagai "pelayan publik" yang humble, ramah, cerdas, all out. Liukan tubuh harus masuk koridor bahasa tubuh ASN.Â
Kalau keluar dari protap itu, maka peluang karier akan layu sebelum berkembang. Ada cap negatif melekat terkait kelayakan  dan kepantasan. Sering ada istilah "kariernya masuk kandang atau dikandangkan". Kalau beruntung, saat ganti pimpinan, kandang bisa dibuka lagi.Â
Itupun butuh waktu yang tidak sedikit. Sebaliknya kalau tidak beruntung, walau pimpinan berganti seribu kali, kandang itu tetap terkunci sampai si ASN pensiun. Ini nasib paling naas.
Bila kita menelusuri sejumlah berita terdahulu dari "mbah Google" tentang pergantian sejumlah rektor PTN dibawah nungan Kementrian Agama, para kandidat rektor sudah mengikuti serangkaian tes obyektif. Munculah sang juara. Sejatinya si juara tadi tinggal menunggu hari pelantikan. Namun dalam hitungan jam jelang pelantikan, yang dilantik bukanlah sang juara tadi, melainkan orang lain.
Hal  tersebut merupakan kejanggalan. Keputusan akhir berlawanan dengan  proses administratif yang sudah dijalani. Hal itu tentu saja bikin sesak para civitas akademika dan internal birokrasi lembaga PTN terkait.
Ketika di lembaga birokrasi terjadi kejanggalan dalam "promosi jabatan", sementara sejumlah kandidat merasa memiliki kemampuan, pengalaman, pangkat, accessibility dan acceptability di lingkungan kantor/kedinasan yang membuatnya punya peluang  yang (saharusnya) sama untuk menduduki jabatan, maka gosip bermunculan bagai bara dalam organisasi birokrasi yang tampak tenang dari luar.
Bara itu terus hidup dan memanas, membuat pihak-pihak di internal lembaga yang jumlahnya tidak sedikit melakukan gerakan senyap namun menggigit "sampai ke tulang sum-sum". Salah satunya dengan cara melaporkan ke instansi "harapan" seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), PTUN, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga lainnya tergantung "titik lemah" kejanggalan promosi jabatan tadi.