Nasib baik berpihak kepada Jokowi/BTP yang memenangkan Pilgub DKI 2012. Dinamika politikpun bergerak cepat. Jokowi terpilih jadi Presiden RI, dan BTP menggantikannya sebagai Gubernur DKI.
Mulai dari sinilah kontroversial dan fenomenal seorang BTP makin bergema. Berbagai gebrakannya membuat namanya makin melambung di jagat politik dan media nasional.
Tahun 2014 akhirnya saya bertemu secara fisik dengan BTP di acara Kompasianival di TMII (Taman Mini Indonesia Indah). BTP bersama Ridwan Kamil walikota Bandung jadi bintang acara dialog Interaktif di panggung utama Kompasianival itu.
Pertemuan fisik saya itu bertepuk sebelah tangan. Saya bisa melihat BTP di panggung Kompasianival, sedangkan dia tidak melihat saya yang duduk di kursi audience.
Saat itu saya duduk berdekatan dengan para kompasianer senior Ahmad Suwefi, Teguh Hariawan dan Fitri Manalu. Kompasianer Ahmad Suwefi dan Teguh Hariawan merupakan Nominee Kompasiana Award 2014, masing-masing--seingat saya--untuk kategori Olahraga dan Opini.Â
Sedangkan saya masih culun. Kalo pergi bermain kurang jauh, dan kalo pulang kurang pagi. Kalo pipis masih belepotan. Pasang celana aja belum bisa sendiri. Kalau pun terpasang masih sering mlorot.
Tak bisa bertemu dua muka dengan BTP bagi saya bukan soal takdir, tapi masih dalam tahap nasib saja. Dalam hati saya berkata, "Awas Lu! Entar habis acara gue cegat lu!"
Usai acara dialog di panggung yang penuh humor BTP-Kang Emil bersama kompasianers, saya berniat maju mendekati BTP untuk foto-foto. Sengaja sasaran saya adalah BTP, bukan Kang Emil, karena udah tidak asing lagi, sering ketemu di acara IAI Nasional dan di kampus. Heu heu heu..
Lagi-lagi nasib belum berpihak kepada saya. Para kompasianer yang berada di dekat panggung jauh lebih cepat. Sehingga kerumunan di sekitar BTP begitu ramai. Saya pun mengurungkan niat. Tetap duduk di tempat semula sambil ngeces.
Lagipula saya itu kondisi saya memang masih berat. Maklum saja, saat itu saya  sedang masa kehamilan tujuh bulan di Kompasiana, dan baru habis acara mandi kembang tujuh rupa dan tujuh warna dalam rangka selamatan nujuhbulanan sebagai  kompasianer.Â
Jadi masih banyak pantang dan pamali yang harus saya patuhi. Saya tidak ingin sifat malu saya menang-menangan terhadap keberanian melanggar kesopanan. Bayangkan kalau saat itu saya kehilangan tersipu malu. Siapa yang tanggung? Hiduup malu!