"Yang jelas, kalau kasus itu sudah melalui proses, dia sudah dihukum, kalau hukum mengizinkan dan rakyat menghendaki dia, karena dia memiliki kelebihan-kelebihan lain, mungkin korupsinya ngga seberapa...Kalau curi ayam, benar itu salah. Tapi kalau merugikan rakyat triliunan, itu yang harus kita habiskan di Indonesia ini."Â (Prabowo Subianto, kompas.com)
Debat Capres 2109 tahap pertama membuka layar lebar tentang Prabowo/Sandi yang selama masa kampanye seringkali membuat pernyataan kontroversial yang mengarah kepada kebohongan kepada publik sehingga mereka berdua dianugerahi "Kebohongan Award". Debat Capres itu menjadi sebuah panggung tontonan bagi publik untuk menilai layak atau tidaknya Prabowo/Sandi sebagai calon pemimpin negara. Rakyat ingin melihat mereka, bukan semata tampang elok mereka. Bukan pakaian yang dikenakan. Bukan cara hebat mereka bicara. Tapi sikap dan komitmen mereka berdua terhadap berbagai persoalan nyata dalam kehidupan rakyat yang sangat kompleks.
Pada debat itu, komitmen Prabowo/Sandi soal pemberantasan korupsi perlu diragukan. Pernyataan "korupsinya tidak seberapa" yang keluar dari bibir Prabowo menggambarkan sikapnya yang permisif pada korupsi. Padahal korupsi--sekecil apapun--sangat bertentangan dengan prinsip antigratifikasi dan prinsip integritas aparat negara untuk membangun sistem birokrasi yang bersih dari korupsi.
Sulit dibayangkan kondisi dan situasi negara ini bila terjadi pembiaran "korupsi kecil" atas sikap Prabowo selaku pemimpin yang permisif pada korupsi berskala "tak seberapa" (kecil). Akan terpapar secara nyata "korupsi tak seberapa" itu marak di tengah masyarakat yang membutuhkan pelayanan birokrasi. Ketika mereka datang ke kelurahan untuk mengurus KTP, surat jalan, surat nikah, surat ijin usaha kecil dan lain sebagainya, mereka "dipalak" aparat kelurahan pada setiap item atau  meja birokrasi yang harus dilewati.  Â
Rakyat yang tadinya ingin mendapatkan pelayanan birokrasi nyatanya masih harus dihadapkan pada pungutan-pungutan liar (pungli) yang "tak seberapa" namun menjengkelkan dan memberatkan kantong rakyat kecil. Kalau rakyat tidak mau menyediakan uang pelicin bagi aparat, maka jangan harap surat ijin, surat keterangan dan lain sebagainya bisa mereka dapatkan secara mudah dan cepat. Padahal rakyat membutuhkan surat-surat tersebut untuk berbagai kelengkapan keberlanjutan hidup mereka, misalnya surat ijin untuk memulai usaha kecil, untuk melamar kerja, dan lain-lain.
Aparat birokrasi yang berada di ujung tombak pelayanan publik berpesta diatas keringat rakyat. Toh yang mereka korupsi "tidak seberapa" dibandingkan korupsi trilyunan yang jadi target utama Prabowo/Sandi andai jadi presiden/wakil presiden.
Kalau Prabowo/Sandi hanya perduli pada korupsi berjumlah trilyunan, maka bukan tidak mungkin justru mereka berdua terjerat godaan nikmatnya bagian dari uang triyunan itu. Toh sikap mereka sangat permisif pada korupsi. Dan itu sudah terbaca oleh para konglomerat trilyunan. Kalau itu yang terjadi, maka secara langsung atau tidak langsung mereka berdua ikut berperan menindas rakyatnya sendiri. Inikah sikap pemimpin rakyat yang baik?
Perlu jadi catatan penting, rakyat kecil lebih banyak jumlahnya dan sangat sering berurusan langsung dengan ujung tombak birokrasi penyelenggara negara. Mereka--rakyat kecil--dengan berbagai keterbatasan ekonomi harus berjuang untuk hidupnya sehari-hari. Dalam prosesnya, mereka tak lepas dari kewajiban urusan birokrasi yang diselengggarakan negara. Lalu, akibat dari sikap permisif Prabowo/Sandi pada "korupsi yang tak seberapa" menjadi inspirasi para aparat untuk berlaku koruptif terhadap berbagai akses birokrasi rakyat kecil, sehingga menyebabkan rakyat kecil harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran kantong mereka. Rakyat kecil menjadi  menderita, bukan konglomerat yang memiliki banyak uang. Begitulah akibat dari miskinnya komitmen dan integritas sang pemimpin terhadap masalah korupsi di negara ini.
----- Â Â
referensi berita : satu, dua, tiga
peb22/01/2019