"Rakyat mau dibohongi, rakyat dicuci otaknya dengan pers yang terus terang saja banyak bohongnya dari benernya," (Prabowo, sumber)
Kepemimpinan Prabowo kembali diuji. Kali ini tak tanggung-tanggung. Dia berhadapan dengan penguji paling sangar yaitu media atau pers arus utama. Sayangnya dalam ujian itu, Prabowo gagal total. Padahal sebenarnya dia punya bekal pengalaman hidup, karier dan pendidikan yang cukup untuk menghadapinya. Namun karena sifat emosian yang terlalu mendominasi gayanya, ujian itu menjadi petaka yang berimplikasi pada gambaran politis yang buruk tentang seorang Prabowo.
Materi utama ujian Prabowo awalnya bukan pada keberadaan pers, melainkan pada hangatnya perdebatan publik tentang eksistensi kegiatan reuni 212 dikaitkan dengan agenda politik dan keberadahaan sosok politik dirinya di kegiatan tersebut.Â
Bagi publik secara luas, hal tersebut merupakan sebuah persimpangan kritis yang harus bisa dia jelaskan. Persoalan adanya sejumlah media arus utama tidak menempatkan berita reuni 212 bukanlah hal esensial karena pada prinsipnya, dengan pemberitaan dari sebuah media pers arus utama saja bisa diupayakan memviral. Apalagi bila hal itu dari sumber utama dirinya yang memiliki magnet tersendiri.
Sayangnya materi utama ujian itu tidak bisa Prabowo jelaskan secara elegan. Justru blunder dia lakukan. Akibatnya muncul gambaran buruk tentang seorang Prabowo terkait kehidupan pers dan demokrasi.
Alih-alih berawal dari keinginan melakukan kritik secara langsung terhadap pers, namun yang terjadi justru memusuhi dan membuat pernyataan dangkal yang menunjukkan Prabowo tidak siap memimpin negara demokratis terbesar seperti Indonesia.Â
Dengan menggeneralisasikan pers secara tidak pantas dan membuat pernyataan bahwa pers itu membohongi publik dan "mengajak" publik untuk tidak mempercayai pers merupakan tindakan "kekanak-kanakan" seorang calon pemimpin negara. Tidak mencerminkan seorang pemimpin demokratis. Tidak menggambarkan jiwa kenegarawanan dalam pendidikan politik untuk mendewasakan publik dan pers itu sendiri.
Satu hal yang Prabowo lupakan. Prabowo bisa menjadi besar seperti sekarang ini karena jasa besar dan peran penting dari media atau pers. Ini menjadi sebuah ironi, ketika kemudian dia mengatakan pers sebagai pembohong---berarti kebesaran Prabowo juga sebuah kebohongan? Atau, Prabowo "mengakui" bahwa ketokohan dia tidaklah sebesar anggapan sebagian publik pendukungnya selama ini.
Kalau sebelumnya Prabowo/Sandi berkeinginan mengadopsi konsep-konsep pembangunan milik Orde Baru, itu sah-sah saja. Demi kesejahteraan rakyat, konsep yang baik di masa lalu bisa diambil untuk dikembangkan bagi kemaslahatan masa kini. Sedangkan konsep yang buruk tidak perlu ditiru.Â
Memusuhi pers adalah konsep dan tindakan kepemimpinan buruk dari rezim Orde Baru di masa lalu. Dan ketika hal itu Prabowo lakukan pada saat ini, maka dia telah melakukan bunuh diri politik. Padahal saat ini dia masih berstatus calon presiden.
Dapat dibayangkan seandainya Prabowo jadi pemimpin negeri ini. Ketika ada tindakan atau pemberitaan pers yang tidak sesuai dengan hati dan keinginannya, bisa jadi dia akan membungkam pers lewat kekuasaannya secara otoriter. Bukannya melakukan kritik balik dengan jalur semestinya.Â