Disana terjadi hyperinflasi luar biasa. Menurut dana Moneter internasional (IMF), tahun ini Venezuela terancam hyperinflasi hingga 1 juta persen. Harga seekor ayam potong 14 juta Bolivar. Harga 1 kg tomat mencapai 5,2 juta Boliviar. Satu gulung kertas tisu toilet harganya 2,6 milyar.Â
Krisis global menyebabkan nilai dolar mencapai angka Rp 15 ribu. Beruntunglah kini sudah menurun, dan nilai rupiah kembali naik setelah dilakukan langkah taktis oleh pemerintahan Jokowi. Seiring waktu, niscaya rupiah akan kembali menguat!
Awal kenaikan nilai dolar bukan karena kegagalan pemerintahan sekarang mengurus pembangunan negeri ini, namun karena berbagi faktor eksternal (global) seperti suku bunga The Fed, perang dagang China dan Amerika, krisis ekonomi di Turki, Argentina dan Venezuela. Semuanya menjadi suatu kompeksitas sehingga terjadi gonjang-ganjing perekonomian global. Situasi tersebut menjadikan sejumlah investor kuatir menempatkan dananya di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun dibandingkan negara-negara lain, tingkat kepercayaan luar negeri terhadap negara kita masih tinggi. Menurunnya nilai mata uang rupiah prosentasenya lebih kecil dibanding mata uang negara-negara lain yang mengalami situasi krisis global tersebut. Kepercayaan pada negara kita tetap terjaga karena pemerintahan dan pembangunan negera kita sudah berada di koridor yang benar dimata dunia internasional.
Harga seekor ayam potong 14 juta Bolivar. Harga 1 kg tomat mencapai 5,2 juta Boliviar. Satu gulung kertas tisu tolet harganya 2,6 milyar. Bayangkan, uang 2,6 milyar setara dengan 26 ikat uang 1.000 Bolivar yang jika ditumpuk maka ketebalannya mencapai 26 cm. Sementara jika uang itu dibungkus, maka setara dengan 2,6 kantong gula dengan berat masing-masing kantong 1 kilogram.
Salah satu penyebab negara Venezuela terpuruk karena sebelumnya pemerintahnya melakukan politik populis, memanjakan rakyatnya dengan berbagai subsidi di berbagai kebutuhan pokok dan sektor kehidupan. Akibatnya, fondasi ekonomi di tingkat bawah hingga atas menjadi tidak kuat.Â
Politik populis itu jadi bom waktu yang pada akhirnya menyengsarakan rakyatnya sendiri. Selain itu menghilangkan kepercayaan luar negeri terhadap negara dan bangsa. Akibatnya perekonomian negara sulit untuk bangkit dalam waktu singkat.
Ditambah lagi struktur politik dan pemerintahan saat itu tidak profesional karena adanya KKN di tingkat elit pelaku politik dan sejumlah golongan usahawan yang tidak mau diungkap (justru dilindungi) pemerintahan Orde Baru yang otoriter.
Pada pemerintahan pasca Orde Baru pun hal itu masih terjadi. Dalam 10 tahun pemerintahan SBY menghabiskan Rp 1297, 8 Trilyun (hampir 1300 Trilyun!) sepanjang tahun 2004-2014. Kalau dirata-rata setiap tahun sejumlah Rp 129,7 Trilyun. Â Itu semua baru untuk subsidi BBM, belum yang lain. Jumlah uang itu sejatinya bisa untuk membangun banyak hal bagi rakyat seluruh Indonesia, bukan "dibakar" tanpa ada wujud nyata berupa aset tetap yang bisa dimanfaatkan secara terus menerus dari generasi satu ke generasi berikutnya dalam pembangunan.