Persoalan politik selalu bikin gemes bagi siapa pun. Gemesnya politik tak melulu soal kebijakan politik, melainkan adanya  aksi atau perilaku tokoh politik, peristiwa politik, dan lain sebagainya yang terhampar di berbagai media.
Orang yang mengaku dirinya tak perduli politik pun bisa dibuat jadi gemes.  Di dalam gemes itu terjadi  benturan nalar publik terhadap ragam aksi teatrikal pelaku politik yang memiliki nalar sendiri. Uniknya, tumpuan pelaku politik justru pada suara (simpati) publik.
Sikap gemes menawarkan publik awam pada pilihan ; tak perduli atau perduli. Bagi yang perduli maka akan ada banyak pilihan aksi, Â salah satunya adalah menulis soal politik di berbagai media (khususnya medsos) yang memungkinkan ekspresi politik publik tersalurkan secara langsung .
Entitas politik sangat kompleks. Setiap isu politik aktual memuat beragam dimensi , baik itu dimensi  waktu (masa lalu dan masa kini), dimensi etis, moral, religi, maupun konvensi nilai-nilai tertentu serta aturan/undang-undang, dan lain-lain . Selain itu satu isu politik hampir pasti terkait isu-isu lainnya, baik yang sedang hangat maupun yang sudah jadi masa lalu.Â
Menulis dan Politik adalah dua ranah yang berbeda, namun bisa bersatu dalam bentuk tulisan politik yang bentuknya bermacam-macam. Salah satunya adalah artikel politik. Â Lalu, apakah menulis politik cukup berbekal rasa "gemes"?
Ketika kita akan menulis artikel suatu isu politik, maka sejatinya kita harus mau mengetahui berbagai dimensi  yang melatarbelakanginya, kemudian memilih dan memilah, kemudian menyusunnya  menjadi sebuah logika awam.
Artinya, artikel itu memuat referensi yang valid, dan dibuat secara terstruktur agar mudah dimengerti orang banyak. Disinilah persoalannya, menulis artikel politik itu 'mengasyikkan' sekaligus 'rumit'. Â
Mengasikan, karena saat menulis artikel politik ibarat sedang bermain menyusun puzle-puzle aneka ukuran peristiwa terkait plus dimensi tadi--menjadi satu kesatuan bentuk yang utuh dan menarik para pembaca.
Rumit, karena sebuah isu aktual politik berdimensi banyak. Seringkali saking gemesnya publik menulis politik secara spontan (reaktif), hal tersebut seperti  suara beragam alat musik yang mereka tabuh sebagai sebuah reaksi spontan, namun suaranya tanpa nada jelas. Suara terdengar tak lebih sebuah keriuhan. Ada yang mengatakan itulah 'demokrasi'.Â
Lihat saja ketika Rocky Gerung melambungkan pemikiran "kitab suci merupakan fiksi", atau Amien Rais mengatakan "partai setan dan partai Allah". Hal yang kemudian muncul adalah suara riuh di ruang publik dengan berbagai jenis alat musik dan pukulan tak beraturan.
Lihat saja di berbagai status Facebook, Twitter, Instagram dan ruang medsos lainnya. Suara apa yang terdengar?