Keparat! Suara misterius itu begitu detail mematai semua drama di ruang itu. Aku ditelanjangi. Pantaslah dia memandangku sebagai orang tolol!Â
Kuperhatikan lebih lama jam dinding. Aku berpikir, jangan-jangan suara misterius bersembunyi dibalik kedua jarum jam itu! Aku tak segan menurunkan dan menginjak-injaknya. Biar dia tahu aku tak setolol yang disangka! Hahahaha!
Tapi tiba-tiba aku malu sendiri. Berjuta kata telah kurangkai untuk merawat harapan ribuan orang pembaca. Bukankah kalau aku bertindak anarkis terhadap jarum jam-hanya untuk meniadakan suara misterius keparat itu-berarti aku telah membunuh harapan para pembacaku? Bagi mereka, aku bukan semata pencipta kata-kata, tapi akulah wujud kata-kata yang menghidupkan harapan mereka!Â
Disisi lain, aku tak mau terus-menerus dihina suara misterius itu. Aku ini idola, punya banyak pemuja di panggung literasi. Diruang-ruang rasionalitas. Didalam kanal estetika diksi, dan segala sudut lain yang tak kukenal--tempat banyak tulisanku jauh mengalir atau mengendap. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Kupikir, berdoa bukanlah cara terbaik. Aku adalah tuhan bagi kata-kata yang kerap kuciptakan. Suara keparat itu pasti akan mentertawakan ketuhananku. Aku bakal dicap sebagai tuhan konyol!
Sampai sekarang aku tak tahu pasti letak suara misterus yang keparat itu. Dan aku pun belum mampu membunuhnya. Tapi diam-diam, semakin sering dia bersuara menghina, semakin kuat energi mengalir pada setiap hentakan jari-jariku di keyboard.Â
Aku berharap suatu waktu entah kapan, pada suatu momentum, aku dan suara misterius itu bertemu. Saat itulah kutunjukkan bukti-bukti aku bukan orang konyol.
-----Â
Peb28/10/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H