Betul kata Mukidi, kalau kamu belum ngalami Nganu secara langsung kamu tidak akan pernah merasakan Anu seutuhnya.Â
Dalam metodologi penelitian ilmiah (kajian ilmu sosial) ada yang namanya metodologi etnografis. Metode ini mensyaratkan si peneliti terjun langsung dan menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang diteliti dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama. Bukan hanya dengan melakukan "grand tour" sejenak kemudian membaca beragam referensi. Dengan begitu, si peneliti bisa "merasakan" dan "mengambil" cara pandang secara komprehensif tentang kehidupan masyarakat yang diteliti.Â
Ada satu adigium menarik. Begini ; "aku mendengat, Aku jadi tahu. Aku melihat, Aku jadi mengerti. Aku melakukan, akun jadi tahu, mengerti dan memahami."
Kalau pengen tau rasanya sakitnya patah hati, maka harus putus cinta atau cinta ditolak, bukan membaca kisah cinta pul melodrama. Kalau pengen merasakan nikmatnya rujak, maka makanlah rujak, bukan membaca ulasan dan menu rujak sambil lihat foto-foto rujak. Kalau pengen merasakan maling ayam ditimpuk orang sekampung, maka jadilah maling ayam di kampung orang, bukan dengan membaca berita tertangkapnya maling ayam.
Saya berkompasiana sejak tahun 2014. Dan sejak itu saya tidak pernah absen datang ke acara Kompasianival. Saya merasakan aura Kompasianival secara utuh, bukan lewat cerita, ulasan dan foto-foto berbagi dari para Kompasianer yang hadir.Â
Akhirnya saya bisa merasakan "suasana batin" mereka ketika tahun ini tidak hadir pada Kompasianival 2017. Ooow...Begini rasanya "ngeces" Kompasianival. Bayangin aja, itu barang ada di depan mata dan jari. Tapi hanya lewat kiriman streaming video, foto-foto dan celoteh para pelaku aktif di tekape Kompasianival yang di-share via grup WA. Mereka bertemu, tertawa penuh gembira, saya pun ikut tertawa-tapi sendirian dan gak nyaring. Tawa yang garing. Mereka becanda dengan sesama Kompasianival-er, sayapun ikutan becanda dengan angin mereka.
Tapi...oooh Dewaaa! Semua itu hanya saya lakukan via WA! Tidak ada rasa yang benar-benar nyata. Hanya bisa secara maya. Saya memang ikut bergembira tapi tak henti "ngecess". Mata berbinar dan air liur menetes tanpa bisa mencecap langsung hidangan lezat. Hahahaha! Ooh, begini toh rasanya "ngeces Kompasianival".
Dari pengalaman "ngeces Kompasianival" tahun ini saya bisa merasakan 'aura dan suasana batin' para Kompasianer yang karena berbagai faktor akhirnya tak bisa hadir di Kompasianival--pesta lezat para blogger Kompasiana.Â
Secara etnografis, saya telah menjalani dan mendalami 'sikap batin'dan 'pandangan hidup' kelompak masyarakat "Kompasianer Ngeces". Â Dari pengalaman tersebut pula saya bisa menghargai secara lebih baik tentang dunia para "Kompasianer Ngeces". Tercipta sikap empati yang khusyuk serta rasa menghargai perbedaan. Tidak lagi sombong doyan nikmatnya pesta. Heu heu heu...
Ini hanya sebuah renungan akhir Minggu, bukan sikap 'lebay outsourching'. Bukan pula pribumi dan non-pribumi Kompasianival.Â