Tulisan tentang politik hampir selalu mendapatkan hits (tingkat keterbacaan) lebih banyak dibandingkan tema atau kanal lain. Hal tersebut bisa menjadi indikator besarnya minat masyarakat pada pemberitaan dan ulasan politik-- khususnya politik negeri ini.Â
Dinamika politik di tanah air jadi magnet tersendiri bagi publik pembaca dan penulis politik itu sendiri. Bagi para penulis, besarnya hits menjadi penyemangat kegiatan Menulis. Ada kepuasan tersendiri bila tulisan dibaca banyak orang. Sementara bagi pembaca, bisa mendapatkan beragam perspektif terkait fenomena politik aktual. Jadi, antara penulis dan pembaca politik terjalin simbiosisme di ruang literasi.Â
Bekal Pembaca dan Penulis
Kanal politik yang seringkali "riuh" menjadikannya sebuah ruang diskusi yang "keras". Di kanal tersebut para pembaca sebelumnya telah memiliki bekal referensi, preferensi (keberpihakan) politik tertentu serta tingkat daya kritis yang relatif tinggi. Ketiga bekal itu seolah merupakan satu kesatuan utuh berperan sebagai parameter pembaca untuk menilai sebuah tulisan politik sekaligus menjadi "senjata tersembunyi" untuk "melibas" konten artikel yang "tanggung"--bahkan melibas si penulisnya!Â
Konsekuensi bagi si penulis adalah harus mampu mengimbanginya, bahkan dia dan tulisannya sebagai pembentuk opini harus "lebih cerdas" dibanding pembaca terkait isu yang diangkat. Dia harus mampu memberi nilai tambah terhadap apa yang sudah pembaca miliki. Karena kalau tidak, si penulis tersebut akan ditinggalkan pembacanya.Â
Jurus klasik mendapatkan banyak hits dengan cara  memberi judul "Bombastis" tanpa konten yang "mencerahkan" bukanlah jaminan pengikat pembaca untuk setia pada artikel-artikel selanjutnya. Jurus itu justru jadi bumerang bagi si penulis, yang berujung pada "stigma" negatif tertentu yang membuatnya tak lagi laku.
Preferensi atau keberpihakan penulis politik dan pembaca merupakan bagian tersulit dalam ruang "keras dan riauh" kanal politik. Pada penulis dan pembaca yang memiliki preferensi yang sama tidak menjamin terbentuknya interaksi yang "damai dan hening" di ruang kanal politik karena si pembaca memiliki referensi dan tingkat saya kritis yang masing-masing berbeda.Â
Secara disadari atau tidak, hal tersebut merupakan idealisme pembaca-demikian juga halnya bagi si penulis. Keberbedaan di dalam kesamaan preferensi ini muncul, benturan pun terjadi sehingga  menciptakan diskusi yang "rawan" dicari titik lemahnya oleh sejumlah pembaca yang preferensinya tidak sehaluan.Â
Bagian tersulit adalah bila preferensi si pembaca dan penulis berbeda. Diskusi akan menjadi lebih "panas dan keras". Pembaca yang "buta dan tertutup" pikiranya akan menggunakan berbagai sudut pandang dan cara penyampaian untuk mengkritisi artikel ketika berinteraksi dengan penulis dan sesama pembaca. Tak ayal lagi, akibatnya ruang kanal politik tak pernah bebas dari "keriuhan". Bila tak bisa mengelola artikel/tulisan dengan baik bukan tak mungkin muncul ujaran-komen pedas diluar konteks tulisan/artikel. Pada situasi tersebut, si penulis sebaiknya tidak terpancing emosi berlebihan yang dapat mengurangi nilai/estetika artikel secara keseluruhan. Hal inilah yang seringkali membuat sejumlah orang enggan menulis di kanal politik.Â
Agar segala keriuhan tak jadi bumerang yang melibas si penulis sampai ke ranah pribadi maka penulis juga harus memiliki ketiga hal yang dimiliki para pembaca ditambah sejumlah bekal lainnya, Â misalnya ; kemampuan merangkai logika yang sarat data valid, kepiawaian memilih kata dan kalimat berbobot dalam uraian, kejelian mengambil sudut pandang, kemampuan memberi batasan lingkup pembahasan isu, dan tak lupa kepemilikan selera humor yang tinggi dalam interaksi pembaca-penulis.Â