Lembaga tangguh bernama KPK bagai bertekuk lutut dan rakyat banyak yang kecewa setelah Setnov telah memenangkan pra peradilan terkait penetapan dirinua sebagai tersangka skandal korupsi E-KTP. Status tersangka yang sebelumnya tersemat pada Setnov otomatis tidak sah secara hukum, yang artinya pada tahap tersebut selanjutnya dia tidak bisa dibawa ke pengadilan untuk diproses. Kalau pun KPK masih "ngeyel" menyeret Setnov ke meja hijau, harus di lain arena dan pertandingan, walau masih satu kompetisi.
Hal yang jelas, pada "pertandingan" kali ini Setnov menang secara sah karena yang memimpin dan memberi keptusan pertandingan adalah hakim yang sah dari lembaga yang sah pula. Namun yang jelas, bukan Hakim garis dari FIFA atau PSSI..heu heu heu...
Dasar pertimbangan hakim Cepi Iskandar memenangkan Setnov juga sah secara hukum. Beberapa pertimbanganya (lihat kompas.com), adalah ;Â
Pertama, penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan. Padahal, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.Â
Kedua, alat bukti sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya. Perlu diketahui, KPK membawa alat bukti penyidikan dari proses pengadilan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP. Ini yang dianggap hakim tidak sah menurut undang-undang.
Bukti Rekaman Marliem
Hal lain yang sempat membuat awalnya posisi Setnov kuat sebagai tersangka di mata publik namun kemudian "lemah" dimata hukum adalah bukti rekaman dan saksi rekaman tersbut.
Rekaman pembicaraan Setnov yang diduga sebagai pengatur proyek KTP beserta besaran uang bagiannya ada dalam rekamann yang dibuat dan dibawa oleh Johannes Marliem. Rekaman itu sudah ada ditangan KPK dan menjadi salah satu dasar kuat KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka.
Namun dalam perkembangannya, Marliem tewas di Amerika. Sementara dia adalah "saksi kunci" bagi sah-tidaknya bukti rekaman. Dengan kematian Marliem, kekuatan alat bukti jadi timpang (lemah), sementara belum ada peraturan sah yang bisa dipakai untuk menjadikan sebuah rekaman pembicaraan sebagai alat bukti valid walau hal itu bisa dilakukan oleh ahli forensik suara. Ingat kasus rekaman "Papa Minta Saham" yang bikin heboh. Berdasarkan pengalaman rekaman "papa minta saham" tersebut yang dinyatakan tidak sah secara hukum, maka Setnov pun bebas dari jerat hukum positif.
Strategi bertanding Setnov sangat detail, terukur, dan jitu dalam melihat setiap sudut pertahanan dan serangan. Masing-masing sudah diantisipasi dengan matang.
Pertanyaannya, apakah bila Johannes Marliem tidak tewas maka Setnov akan kalah di pra-peradilan? Bisa "ya" dan bisa "tidak".Â