Para kandidat atau nomine Kompasiana Award tahun 2017 sudah diumumkan, (lihat di sini). Mereka merupakan penulis aktif yang layak untuk masuk nominasi memenangkan masing-masig kategori kepenulisan. Secara teknis berkompasiana, masing-masing nomine punya kekuatan yang khas. Hal inilah yang menjadikan mereka terpilih sebagai nomine.
Kali ini saya mencoba mengupas masing-masing kekuatan mereka tersebut. Saya tidak bermaksud "berkampanye" kepada salah satu nomine, melainkan memberi referensi bagi para pembaca (kompasianer).Â
Tulisan saya ini hanya berupa Opini dan bersifat Subyektif berlandaskan "interaksi pasif dan aktif" saya selaku pembaca tulisan-tulisan mereka. Satu hal lagi, harus saya akui "subyektifitas paling parah" opini ini adalah tidak membaca secara adil jumlah karya masing-masing penulis.
Selama berkompasiana saya membaca banyak tulisan teman-teman Kompasiana namun tidak semua tulisan mereka saya baca. Ada yang banyak dan ada yang sedikit dikarenakan keterbatasan waktu membuka Kompasiana, momentum berkompasiana, dan tentu saja daya tarik tulisan lewat judul dan tema yang mereka sajikan.Â
Subyektivitas tulisan ini kiranya tetap berusaha memiliki daya teropong yang kuat. Faktor banyak atau sedikit jumlah artikel mereka yang saya baca tidak mengurangi penilaian kualitatif terhadap "sosok karya mereka". Kata Mukidi---penasehat spiritual saya : "kekhasan si penulis berangkat dari  perulangan gaya dibanyak tempat dan peristiwa". Artinya, dengan membaca beberapa tulisan mereka akan terlihat kekhasan mereka. Semua itu merupakan "passion" masing-masing penulis-- laksana takdir yang tak bisa mereka elak. Nah, inilah yang bisa kita (saya) lihat dengan teropong tadi.
Berikut ulasan tentang lima orang Nominee Kategori Fiksi (Best in Fiction)
Karya-karya fiksinya menampilkan "suara hati" perempuan yang peka akan situasi apapun yang sedang menyelimutinya. Relasi anak-Ibu sering jadi tema besar  fiksinya, baik dia sebagai anak maupun sebagai Ibu. Tema fiksinya juga sekitar "pertentangan" cara pandang si Ibu dan anak terhadap sesuatu yang tampak sederhana namun ketika menjadi cerpen tidaklah sesederhana yang semula dibayangkan. Disinilah pembaca diajak berperan menjadi salah satu pelaku dalam cerpen-cerpen Lilik. Kekuatan dramatik cerpen menyeret pembaca masuk dalam kehidupan dialog fiksi sehingga pembaca 'dipaksa' untuk berpihak pada salah satu tokoh dalam cerpennya. Seringkali pembaca dibikin "kaget" oleh penyelesaian akhir yang tak terduga---bahkan bisa terasa kejam.
Karya Andi Wi hampir selalu menampilkan dirinya di banyak peran. Aku adalah tokoh utama fiksinya (cerpen dan puisi atau prosa). Beragam tema yang ditampilkan bernuansa "kegetiran" hidup sebagai "lelaki". Karena dia menjadi 'Aku' maka daya jelajahnya sangat dalam terhadap ke-Aku-an sosok manusia. Dibalik kegetiran itu sebenarnya Andi Wi sebagai "Aku" sedang melakukan kritik diri, refleksi, atau semacam pemberontakan atas realitas timpang menurut cara pandangnya. Kritik (kegetiran) ini sekaligus cara si "Aku" membangun selera humor yang tinggi yakni lewat kemampuan dia mentertawakan diri sendiri tanpa gelak yang riuh, melainkan sebuah keheningan di banyak tempat ramai dan populis. Si Aku berada di ruang hening seolah kesepian di tempat ramai. Disinilah kekuatan Andi Wi dalam membangun kehidupan fiksinya secara utuh.