Wiiih...judul artikelnya bikin ngeriii! Mirip makalah. Ada kata Tranformasi itu, lho...Emang ada apaan, sih? Iiih, masak nggak tau?
Tak bisa disangkal saat ini para Kompasianer sedang gundah-gulana dan menanti harap-harap cemas. Pasalnya, Kompasiana blog kesayangan mereka sedang operasi ganti wajah.
Operasi ganti wajah Kompasiana cukup menyita perhatian para Kompasianer karena cinta dan benci menyatu dalam ruang penantian. Cinta dan sayang tapi benci. Sayang karena emang sayang sejak lama sampai ke tulang sumsum. Benci karena operasi wajah itu tak kelar-kelar. Harap-harap cemas karena ingin tahu wujud baru Kompasiana apakah bisa memuaskan mereka. Satu lagi, apakah nasib data tulisan, jumlah hits, dan segala labeling yang sudah tersemat di setiap profile Kompasianer akan berubah tak mengenakkan?
Para "dokter atau juru bicara rumah sakit" operasi wajah Kompasiana sudah beberapa kali mengadakan "jumpa pers maya" di sejumlah komunitas Kompasianer untuk mengabarkan perkembangan terbaru operasi itu. Ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab kepada publik mengingat bahwa operasi ganti wajah Kompasiana menyangkut "Hajat Hidup Orang Banyak". Jadi sesuai undang-undang dasar ngompasiana bahwa  penyelenggara Republik Kompasiana wajib melakukannya.
Hal yang terjadi diluar ruang operasi tanpa sepenuhnya diketahui  para ahli IT Kompasiana adalah timbulnya kasak-kusuk rakyat Kompasiana. Beragam reaksi dan aksi muncul dalam bentuk celoteh. Saya adalah salah satu pelakunya. Ragam celoteh itu menghiasi sejumlah "Headline" di grup-grup komunitas, khususnya di grup WA. Sungguh sebuah sisi lain yang bagi saya sangat menarik dan menghibur. Lhoo? Orang cemas kok dijadikan hiburan? Ya iyalah...abis mau gimana lagi. Masak ngomel mulu, nanti nambah dosa, taooo! Heu heu heu...
Selalu ada sisi lain dari sebuah kecemasan dan celotehan. Â Kata mukidi-penasehat spiritual saya, dibalik kecemasan ada kecantikan dan keindahan yang tersembunyi. Dibalik kecemasan ada kelucuan yang menghibur. Begitulah salah satu angle yang bisa diambil guna mendapatkan perspektif positif dari suatu kekalutan. Kecemasan yang ditanggapi dengan kecemasan hanya akan menghasilkan kemurungan, kesedihan, keputusasaan, sikap saling menyalahkan dan aura negatif lainnya. Dan hal itu bisa menganggu atau membunuh kreativitas dan energi berkarya. Percayalah! Walau saya bukan motivator profesional, tapi saya ingin mengabarkan yang saya pahami dan ketahui demi stabilitas marwah positif teman-teman Kompasianer. Eeeaaa...! Celeguk...
Ihwal operasi wajah Kompasiana ini bukan kali yang pertama dilakukan. Kalau tidak salah sudah 3 kali dilakukan sejak Kompasiana lahir. Saat operasi wajah dilakukan pihak "Jubir Kompasiana" selalu memohon kesabaran dari para Kompasianer. Antara kerja tim IT dan managemen sudah terbagi sejak awal. Tim teknis IT bekerja secara teknis, hal yang dihadapi adalah sistem dan peralatan. Sekalipun sudah pakar, mereka hanya bisa memberi prediksi karena hasil akhir masih juga ditentukan "sesuatu yang yang tak tampak dan unpredicable". Untuk itu, pihak managemen pun tak mau gegabah memberi tahu rakyat Kompasiana kapan waktu operasi itu akan selesai tuntas. Sekali publis menjadi sebuah Janji. Dan bila hal itu tidak tepat, maka akan jadi "keributan baru" yang akan menghasilkan aura negatif yang tidak menguntungkan suasana kebatinan semua warga Kompasiana, baik itu pihak penyelenggara maupun publik Kompasiana.
Perlu dipahami, operasi wajah itu dilakukan secara kehatian-hatian karena menyangkut seluruh data para Kompasianer sendiri. Data itu adalah wujud sumbangsih para Kompasianer pada sejarah dan keabadian diri selama masih hidup atau setelahnya. Ini serius, lho. Heu heu heu...Ingat, 'Menulis' merupakan cara kita membentuk sejarah. Tanpa 'Tulisan' maka yang ada hanya legenda dan mithos. Sementara tuntutan sejarah modern adalah karya tertulis yang bisa jadi rekam jejak untuk pembelajaran masa depan.
Nah, apa yang bisa jadi pelajaran dari operasi wajah Kompasiana itu? Salah satunya adalah kedewasaan mensikapi masalah. Bentuknya adalah kesabaran. Dan sabar nya para Kompasianer juga kelak akan jadi sejarah. Tinggal pilih, mau jadi sejarah sabar yang cemerlang, atau sejarah kelam? Semua tergantung cara para Kompasianer mensikapinya disaat ini.
Menjadi orang sabar itu memang tidak gampang. Bayangkan saja, seorang yang bernama Sabar saja belum tentu bisa sabar, bukan? Tapi pun perlu dipahami bahwa Sabar tak melulu milik orang yang bernama Sabar. Kita sebagai insan lemah sekalipun mesti sabar.
Sebagai penutup, saya kutip celoteh teman-teman di grup WA ; " Perubahan Kompasiana adalah Ujian Kesabaran". Nah, kalau ada Ujian sebaiknya kita menjaga suasana agar tetap Tenang. "Harap Tenang, Sedang Ada Ujian". Psssst!