[caption caption="sumber gambar : http://nexter.org/sites/default/files/0_63e4b_986dd960_orig.jpg"][/caption]
Menggeliatlah roh saat raga tak henti memacu tubuh dalam ruang laga. Dipandangnya penuh heran. Bukan tak pernah ia bersuara nyaring di kedalaman.
Raga pernah ditiupnya. Dibentak, bahkan hatinya ditampar. Tapi raga seperti si Tuan tuli yang kukuh berhamba pada tubuh duniawi. Roh tak lagi dipandangnya. Padahal roh itulah perawat jiwa para raga untuk nikmati kehidupan.
Roh berkata "Apa yang kau cari, raga? Telah kuberikan padamu gerai sakral untuk nikmati ketenteraman."
Raga bukannya diam, malah berteriak penuh kesenangan dan makin memacu benturan sebagai pesta kemegahan diri.
Roh pun akhirnya terdiam. Perlahan tertunduk dan menangis di dalam raga. Dipandangnya langit. Berbicaralah ia pada terang yang berkilau.
Seketika langit menggelegar tanpa raga sadari. Terjengkang raga dari panggung kegagahan. Ujung lidah kilaunya lemparkan raga ke jurang dalam dan tajam.
Sebagian raga menangis kesakitan. Tubuh penuh luka dan berbau. Berbicaralah ia pada roh tentang pertaubatan. Didengarnya penuh khidmat setiap aliran bisik roh. Kemudian roh memungut butir air mata raga. Dibasuhnya sebagai tanda hidup baru.
Sebagian raga lagi masih jumawa di lembah kesakitan. Berteriak penuh makian agar tak terlihat lemah. Sedikitpun tak berniat mendengar setiap kata roh.
Roh bersedih dan menangis kemudian keluar dan menjauhi raga. Disaat yang sama kilau langit bentangkan tangga songsong kebebasannya.
Raga jadi terdiam. Kaku. Tak ada lagi sisa jumawa.
Dari atas anak tangga itu roh sejenak menoleh dan melihat ceceran airmata duka disekeliling raga. Tak hendak ia memungutnya. Kelak semua itu akan dilaporkannya pada Sang Pemilik maha kilau langit.
------
Peb24/04/2017
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H