Celoteh satire Gatot Swandito, seorang Kompasianer kapalan bin berkarat, terkait tidak menang dalam lomba menulis yang diadakan Kompasiana sangat miris dan bikin sedih. Bagaimana tidak miris, Gatot Swandito Tak Menang Blog Kompetition walau artikelnya sudah dapat HL !
Saya sebagai kawan seliur tentu tak tega melihat nasib malangnya. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bayangkan saja, menurut saya sebagai kawan dan pakar menulis artikel, tulisan Gatot Swandito sangat bagus dan sangat wajat dapat tempat terhormat dilabeling HL. Kurang apa, coba? Eh, begitu pengumuman, tulisannya tidak menang.
Persoalan terberatnya bukan hanya tidak menang, tapi dia dikalahkan peserta lain yang tulisannya tidak mendapat stempel apa pun dari Kompasiana, baik Pilihan, Headline, dan Feature Article. Mungkin kalau para pemenang itu tulisannya mendapat HL, kemudian Gatot tidak menang, tentu dia tidak kecewa. Dia kalah oleh peserta unggulan.
Sebagai unggulan, Gatot ibarat pebulu tangkis Lin Dan, siapa yang tak kenal kehebatan dia? Tapi ternyata Lin Dan kalah oleh AAA NhuzQ si juara kecamatan di Cirebon. Tentu saja Lin Dan sewot! Apa-apaan ini? Jangan-jangan wasit curang karena berasal dari Cirebon. Jangan-jangan hakim garis masih saudara AAA NhuzQ si Juara kecamatan. Jangan-jangan panitia berhutang budi pada keluarga besar si Juara kecamatan itu. Bayangkan saja, sudah jelas performance Lin Dan hebat, pukulannya banyak yang masuk disaksikan jutaan mata penonton, eeeh...oleh wasit dinyatakan tidak masuk. Belum lagi di papan skor angkanya pelit untuk Gatot, tapi sangat Loyal pada AAA NhuzQ-si Juara Kecamatan.
Tulisan Gatot Swandito itu selain mendapat HL, juga diduga kuat sempat bertengger di halaman Nilai Tertinggi, Terpopuler, dan Goole Tren. Saya sendiri tidak melihatnya secara langsung karena saat artikel Gatot naik daun, saya sedang bertugas di Antartika sebagai ketua KPPS (Kolompok Penyelenggara Pemungutan Sempach).
Lengkap sudah ketangguhan artikel Gatot Swandito. Semua ujian sudah dia lakoni. Semua tempat terhormat sudah diraih. Stempel terbaik sudah didapatkan. Soal jadi pemenang hanya masalah waktu.
Saya menduga, Gatot bahkan sudah mimpi basah tentang kemenangannya. Namun ketika pengumuman pemenang lomba nama Gatot Swandito tidak tercantum, tentu hal itu aneh, bikin kaget, sewot, kesal, merana, patah hati, dan bikin sulit tidur. Kalau sulit tidur bagaimana bisa mimpi basah? Kasihan, bukan? Lebih baik mimpi basah daripada mimpi kering! Apakah admin tak punya nurani? Mengapa admin tak punya welas asih? Apa motif admin dibelakang semua itu? Modus operandinya sangat terpampang vulgar.
Jelas bahwa Gatot Swandito mengalami penistaan lomba, dan kekerasan verbal yang masif. Seorang Gatot yang sejatinya hebat justru dizolimi penguasa lomba. Potensinya dikerdilkan. Dia tidak diberi kesempatan untuk menang. Secara figur dan kekuatan, Gatot itu dominan dann mayoritas, tapi diperlakukan sangat minoritas. Gatot diperlakukan tidak adil. Untuk itu, penyebabnya harus dicari! Panitia lomba yang berkuasa sangat otoriter, zolim serta tidak adil. Oleh karena itu panitia harus dilawan!
Atas kondisi Gatot yang menyedihkan itu, naluri detektif saya bangkit dari kubur. Saya ini detektif yang sudah lama pensiun. Saya seangkatan dan memiliki metode penyelidikan yang sama dengan detektif Barnaby Jones. Kelincahan saya lebih dari detektif Starsky and Hutch. Kecerdikan saya diatas MacGyver. Dan kemanjuran saya melebihi Mack Erroth. Dengan bekal itu, nurani saya tergerak untuk membantu menemukan sebab Gatot Swandito tak menang kompetisi.
Bagi saya, membela Gatot Swandito itu mutlak hukumnya demi kebenaran, demi dewa-dewi aksara, walau kami berbeda pilihan politik. Gatot bukan pendukung Ahok, sedangkan saya pendukung Ahok. Tapi kami disatukan banyak hal. Kami sama-sama tergabung dalam Himpunan Alumni KPPS (HAK), Ikatan Pendukung Jokowi (IPEJO), Persatuan Kompasianer Hebat (KPH), mantan anggota Kesatuan Aksi NihYe (KANY), pengurus Persatuan Mantan Nominee Kompasianer Of The Year (PANKTY). Selain itu saya dan Gatot masih satu keturunan yakni Adam dan Hawa (bukan monyet seperti teori Darwin). Kami satu Ras, yakni Mongoloid. Satu bangsa yakni bangsa Indonesia.
Pembelaan saya itu murni demi kebaikan kita bersama dalam membangun Kompasiana yang sehat, lucu dan imut. Namun selain itu....psssssttt!..ini rahasia ya, jangan kasi tau siapa-siapa. Bukan apa, saya ndak enak sama pembaca karena saya Kompasianer terkenal, disegani teman dan lawan. Saya juga dikenal bijak, netral, pintar dan cerdas. Citra saya sangat positif dimata pembaca Kompasiana. Nah, dibalik upaya saya membela Gatot sebenarnya saya ingin menuntaskan ambisi pribadi. Bagi saya, Gatot hanya sebagai alat saja.