Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak SBY "Cuci Tangan Politik" di Ulang Tahun Demokrat?

8 Februari 2017   16:09 Diperbarui: 8 Februari 2017   16:24 2563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://assets.kompas.com/data/photo/2017/02/07/2201324PSX-20170207-2155021780x390.jpg

Pak SBY menyampaikan pidato politik pada Dies Natalis partai Demohkrat (tanggal 7/2/2016) di gedung JCC, Jakarta Tema besar pidato beliau adalah "Indonesia Untuk Semua" atau  "Indonesia For All". Isi pidatonya menyorot tiga hal aktual yang terjadi di negeri ini. Pertama, Kebhinekaan ; kedua, Keadilan ; ketiga, Kebebasan. Tak lupa soal aksi bela Islam, kasus Ahok, dan demontrasi mahasiswa di sekitar rumahnya, (sumber berita).

Hal menarik dari pidato SBY tersebut adalah sebuah pemikiran tentang keindonesiaan yang akhir-akhir ini mengalami ujian berat terkait peristiwa politik terkini. Pada kesempatan tersebut pak SBY memberikan peringatan dini kepada para penyelenggara negara dan seluruh masyarakat untuk perduli, bertanggung jawab dan melakukan sesuatu demi kebaikan bangsa dan negara.

Isi keseluruhan pidato SBY tersebut sangat baik.  Ibarat hidangan, menunya komplit dan lezat. Segala pesan dalam pidato itu normatif memuat sebuah idealisme besar beliau. Tidak ada kalimat bernada provokatif. Ada suasana sejuk ditampilkan sebagai seorang mantan pemimpin puncak negeri ini. Pada kesempatan itu beliau mampu menampilkan citra positif dirinya dimata publik. Sosok SBY sebagai orang tua bijak yang tidak pernah berlaku 'aneh-aneh' yang bikin ketenteraman rakyat negeri ini terganggu.

Bila kita tinjau beberapa waktu kebelakang-hingga terkini tentang situasi politik dikaitkan dengan keberadaan pak SBY dengan pengaruh politisnya, akan terlihat sesuatu yang janggal. Beberapa rangkaian peristiwa politik besar yang menyedot perhatian dan emosi publik ‘melibatkan’ sosok SBY. Satu contoh adalah Aksi Bela Islam. Disaat  suasana politik mulai menghangat terkait dugaan Ahok menista agama, SBY tampil bak pahlawan masyarakat namun langkahnya itu “justru” menambah panas suasana politik. Apalagi disaat yang bersamaan AHY (Agus. H. Yudhoyono-anaknya) menjadi kompetitor Ahok dalam perebutan kursi gubernur DKI. Muncul beragam dugaan bahwa beliau adalah bagian dari kelompok yang berupaya menghalangi, menjatuhkan Ahok sekaligus mengganggu stabilitas pemerintahan Jokowi. Perseteruan ‘diam-diam’ SBY dengan Jokowi (PDIP_Megawati) menjadi bau tak sedap yang mengganggu dinamika politik tersebut.

Belum lagi soal inkonsistensi di dalam melihat realitas kelompok FPI dan kelompok radikal yang meresahkan masyarakat. Pak SBY seolah berada di barisan mereka untuk ‘’menunjuk’’ muka pemerintahan Jokowi. Sebaliknya tidak ada reaksi keras terhadap keberadaan FPI, isalnya (kasus pornografi pimpinan FPI). Selai itu diberbagai celoteh maya beliau di media Twitter tidak menjadikan kondisi lebih baik. Muncul kesan ‘lebay’; mantan yang tidak bisa ‘move on’ ; ‘masih merasa berkuasa’; ‘ambisi keluarga’, dan lain-lain  yang bikin masyarakat menjadi panas dan muak dengan keberadaan beliau. Stigma buruk pun tersemat di disosok pak SBY. Padalah beliau adalah mantan presiden RI selama dua periode yang masih hidup!. 

Bisa jadi maksud pak SBY baik untuk mensikapi semua dinamika politik yang terjadi, namun dengan beragam setting diri ; status sebagai mantan presiden, ketua partai, pengaruh politis, status sosial dirinya dan keluarganya justru sejumlah hal yang dia lakukan menjadi kontraproduktif bagi upaya mewujudkan situasi politik yang sejuk. 

Pak SBY menjadi sosok politik yang naif, sudahlah tahu bahwa bermain politik lewat cuitan twitter bisa memperkeruh suasana kebatinan rakyat, namun hal itu terus dilakukannya seperti seorang anak ABG galau atau rakyat biasa. Kalaupun media maya itu dianggap sebagai eksperesi atau cara komunikasi politik, nyatanya sangat tidak tepat di situasi masyarakat kita saat ini.  Bagaimanapun, harusnya beliau memahami kejamnya dunia maya terkait status ketokohan politik beliau yang rentan menjadi kontroversial-kontra produktif. Banyak pejabat tinggi atau tokoh politik lain yang sudah berstatus mantan membangun komunikasi politik secara ‘manual’ dan lebih elegan. Tidak bikin hebaoh dengan beragam praduga di dalam masyarakat.  Kenapa pak SBY tidak belajar dari mereka itu?

Sampai sekarang, khususnya terkait pilkada DKI yang menyertakan puteranya Agus Harimurti Yudhoyono, pak SBY tetap menjadi tokoh kontroversial. Bikin tak nyaman situasi politik. Akankah ini terus dilakukannya dengan dalih ikut partisipasi dan bertanggungjawab terhadap negeri ini?

Kalau pun idealisme itu ingin terus dilakukan, mungkin pak SBY perlu mengubah cara-caranya sehingga terbangun koneksitas politik  selaku mantan dengan penguasa sekarang. Pidato politik kemarin itu menjadi ‘materai politik’ bagi rakyat tentang konsistensi beliau menggunakan cara-cara elegan yang tak meresahkan rakyat. Jangan sampai pidato  politik beliau tersebut tak lebih sebuah lips service dan upaya "cuci tangan" terhadap situasi politik tak nyaman kemarin dan terkini.  Sementara kelakukan di lapangan terus dilakukan menyerupai kaum oportunitis politik rendahan.  

------

Peb8peb2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun