Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Emak Bukan Manusia Lalu-Lalang

5 Januari 2017   18:56 Diperbarui: 5 Januari 2017   23:53 1897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kemana orang-orang itu pergi? Emak lihat dari tadi tak pernah putus hilir mudik. Apa yang mereka cari?"

Matanya masih menatap keluar. Air hujan yang menempel di kaca jendela mobil mewah tak mengurangi keseriusannya memandang lalu lintas di jalan.

"Mereka banyak urusannya, Mak."

"Iya,..tapi kok mereka bisa tahan hidup seperti itu. Hidup seperti selalu dikejar-kejar."

"Itulah orang kota, Mak" Jawab Dino sekenanya, sambil memandang ke arah lampu merah perempatan.

"Emak tak tahan hidup seperti itu, Din. Makanya Emak tak mau tinggal ditempatmu, biarpun rumahmu lebih bagus dibanding rumah Emak di kampung. Pokoknya habis tahun baru Emak kembali ke kampung."

"Lho, Emak kan ndak harus lalu lalang seperti mereka. Semua kebutuhan Emak sudah bisa aku sediakan."

Tak ada jawaban balik. Tampaknya Emak tak menggubris atau pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan anaknya karena masih 'sibuk' memandangi lalulintas jalan raya itu.

Dino terdiam. Terbayang suasana kampungnya, tempat dulu dia menjalani masa kecilnya. Hidup serba terbatas, jauh dari kota. Kalau malam suasana malam sepi. Hanya bunyi jangrik, kodok dan burung-burung hutan.

Karena tekad untuk sekolah dan memperbaiki hiduplah kemudian dia merantau. Semua dilewati dengan tidak mudah. Dia harus jadi pembantu di rumah seorang kaya raya.

Kini semua sudah dia dapatkan, pendidikan tinggi, karier beserta gaji-tunjangan dan fasilitasnya, rumah bagus serta istri dan anak-anak yang lucu. Inilah saatnya membahagiakan Emak di hari tuanya. Dia ingin Emak tinggal bersamanya, menikmati masa tua dari jerihpayahnya. Tak perlu lagi ke kebun, menoreh karet, dan lain sebagainya.

"Mak, aku juga dulu orang kampung. Tapi toh sekarang aku bisa hidup di kota Metropolitan ini. Disini jauh nyaman, Mak. Apa yang kudapatkan sekarang juga hasil Lalu-lalang itu."

"Pokoknya Emak tetap di kampung sampai mati, Din. Kau tak usah kuatir, para tetangga sudah jadi sudara kita yang akan menjaga dan merawat Emak.

"Tapi, Mak.."

"Din, disini dunia serasa sempit dan sesak. Tak seluas di kampung. Kau urus saja dirimu sebagai manusia Lalu-lalang. Emak tak bisa jadi Manusia Lalu-lalang."

Dino terdiam. Hilang kata. Tenggorokannya bagai tercekat. Dilihatnya Emak masih memandangi orang dan kendaraan di jalanan sibuk itu.

Dino tak tahu, Emak bisa melihat dirinya sendiri diantara manusia Lalu-lalang itu. Emak melambai- lambaikan tangannya sambil berteriak-teriak tanpa seorang pun perduli karena sibuk mempertahankan diri sebagai Manusia Lalu-lalang.

------

Peb-Gambir 03/01/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun