"Kemana orang-orang itu pergi? Emak lihat dari tadi tak pernah putus hilir mudik. Apa yang mereka cari?"
Matanya masih menatap keluar. Air hujan yang menempel di kaca jendela mobil mewah tak mengurangi keseriusannya memandang lalu lintas di jalan.
"Mereka banyak urusannya, Mak."
"Iya,..tapi kok mereka bisa tahan hidup seperti itu. Hidup seperti selalu dikejar-kejar."
"Itulah orang kota, Mak" Jawab Dino sekenanya, sambil memandang ke arah lampu merah perempatan.
"Emak tak tahan hidup seperti itu, Din. Makanya Emak tak mau tinggal ditempatmu, biarpun rumahmu lebih bagus dibanding rumah Emak di kampung. Pokoknya habis tahun baru Emak kembali ke kampung."
"Lho, Emak kan ndak harus lalu lalang seperti mereka. Semua kebutuhan Emak sudah bisa aku sediakan."
Tak ada jawaban balik. Tampaknya Emak tak menggubris atau pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan anaknya karena masih 'sibuk' memandangi lalulintas jalan raya itu.
Dino terdiam. Terbayang suasana kampungnya, tempat dulu dia menjalani masa kecilnya. Hidup serba terbatas, jauh dari kota. Kalau malam suasana malam sepi. Hanya bunyi jangrik, kodok dan burung-burung hutan.
Karena tekad untuk sekolah dan memperbaiki hiduplah kemudian dia merantau. Semua dilewati dengan tidak mudah. Dia harus jadi pembantu di rumah seorang kaya raya.
Kini semua sudah dia dapatkan, pendidikan tinggi, karier beserta gaji-tunjangan dan fasilitasnya, rumah bagus serta istri dan anak-anak yang lucu. Inilah saatnya membahagiakan Emak di hari tuanya. Dia ingin Emak tinggal bersamanya, menikmati masa tua dari jerihpayahnya. Tak perlu lagi ke kebun, menoreh karet, dan lain sebagainya.