"Nak, kau boleh pacaran dengan siapapun. Carilah pacarmu sebaik-baiknya. Namun kalau kelak kamu mau kawin, Ibulah yang menentukan calonmu dan jadi/tidaknya kamu kawin"
------
Kabar Mega beri angin dukungan pada Ahok makin merebak hangat. Pro dan kontra bukan hanya di kalangan masyarakat luas, tetapi juga terjadi di internal partai, salah satu petandanya adalah munculnya lagu 'Tumbangkan Ahok'.
Partai PDIP berjalan dengan suatu' sistem' dan satu 'misteri'. Sistem berkaitan dengan kesepakatan bersama yang diwujudkan dalam AD/ART tertulis. Dimana misteri-nya? Misterinya ada di Hak Prerogatif Ketua Umum Megawati. Sebagai sebuah partai yang (mengaku) modern, sistem boleh dan harus berjalan sesuai yang tertulis. Namun pada titik kritis tertentu bukan 'sistem' yang digunakan, melainkan 'misteri' (Hak Prerogatif Ibu Mega). Titik kritis itu misalnya soal penunjukan calon presiden atau kepala daerah yang diusung partai. Ketika sudah sampai di titik kritis itu, apakah ini masih masuk kategori modern, setengah modern atau Kuno (tidak modern) 'tak lagi dipermasalahkan'. Yang jelas Hak Prerogatif Megawati diatas apapun.
Sedikit membandingkan dengan Golkar yang juga modern. Di tubuh Golkar tidak ada Hak Prerogatif Ketua Umum untuk mengajukan calon pemimpin daerah. Keputusan paling tinggi ada pada para ketua secara kolegial. Artinya oleh para ketua di DPP.
Sejauh masih ada 'hak prerogatif bu Mega' dalam PDIP maka mekanisme panjaringan kandidat kepala daerah yang dilakukan hanya  pelengkap atau 'seremonial' saja biar dianggap partai modern. Prerogatif itu sendiri bernafas 'tidak modern' karena tergantung pada sosok subyektif satu orang, seperti halnya Raja jaman dahulu.
Pada konteks itu, Ahok diuntungkan 'ketidakmodernan' PDIP karena punya peluang besar diajukan oleh bu Mega dengan prerogatifnya yang didasarkan Insting dan Naluri politik Megawati. Kemampuan Ahok memasuki ruang subyektif Ibu Megawati menjadi kunci bagi Ahok 'menyentuh dan mengantongi' Hak Prerogatif Megawati.
Tak Ada Kejutan pada Hak Prerogatif
Bukan hal mengejutkan seandainya kelak Megawat menunjuk Ahok (dan Jarot) yang maju di Pilkada DKI2017. Soal 'ribut' kader yang tidak setuju itu biasa, Â 'No Problemo' bagi Megawati. Masih banyak kader lain yang mendukung keputusan itu atas dasar 'kepentingan pribadi' di dalam partai. Maka kata-kata yang muncul adalah 'inilah dinamika partai kami'. Dengan dinamika ini kami semakin dewasa terhadap perbedaan.
Bukan tidak mungkin 'keributan' internal partai PDIP adalah sebuah sandiwara belaka. Pelakunya adalah loyalis Megawati yang cinta mati pada partai dan sosok kepemimpinan Megawati. Sandiwara itu dilakukan untuk tujuan banyak hal ; Pertama, melihat dan memetakan musuh dalam selimut ;Â Kedua, menguji kecintaan kader pada partai; Ketiga, menampilkan sosok partai dinamis dimata pihak luar, baik terhadap sesama partai politik maupun masyarakat awam. Keempat dan seterusnya diserahkan pada 'keributan' (penilaian) media dan masyarakat guna memetakan dan menyusun strategi partai untuk meraih hati rakyat diwaktu yang akan datang.
Ideologi dan Sejarah pada Preogratif