Kata Cukup acapkali datang dan mencumbu, namun ketika dalam buaian, sebenarnya aku tak memahaminya secara utuh
Aku sering dibuatnya menjadi orang bersalah
Ketika kata janji yang pernah terucap harus ditelan kembali
Berasa pahit !
Kadang ia seperti air yang mengalir tenang, namun tak segan merembes ketika lalai melubangi wadah hasrat
Sesekali kata Cukup terlihat seperti gumpalan  kapas randu
Ditampilkannya wujud diri yang utuh
Warna putih bersih
Menawarkan rasa nyaman
Tapi ia pun bisa mendadak tak setia ketika tertiup kehendak ambisi
Kata Cukup telah jadi sosok relativitas yang menggemaskan
Bukan hanya sekali kutinggalkan, tapi kemudian  nurani memanggil-manggilnya tanpa henti saat aku bermegah diri
Aku jadi benci kata Cukup, walau diam-diam memujanya
Aku berharap suatu waktu mampu membawa rasa benci itu keluar dari bilik hati, agar nurani tak gelisah di singgasananya
Kemudian kuulurkan persahabatan di tengah rimba rayu yang menawan tapi tak segan-segan bertindak kejam
Bersamanya akan kucipta tata waktu dan teritori hasrat menurut kehendak alam bijak
Tahukan kau kapan kata Cukup punya waktu lenggang?
Aku mau bicara dengannya di kedalaman rasa dan logika
Akan kukabarkan tentang cerita kesia-siaan saat aku menelikungnya dibalik panggung harga diri dan emosi
Aku berharap Cukup mau menahanku lama di ruangnya, tempat yang tak pernah kumasuki dengan tekad
Disitulah rasa benci itu diam-diam akan kubunuh...
------
12/08/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H