Dimana bianglala itu berujung? Kata langit, ia hanya beberapa langkah darimu berpijak.
Aku pun berjalan memasukinya. Kunikmati bias warna-warni berpancar dari pori-pori bumi. Ada nada dari pantulan bebatuan, dedaunan, rerumputan, gemericik air, dan angin. Aku pun pun menari.
Dimana batas ruang berpijak? Kata bumi, Ia berada di garis cakrawala
Akupun bergegas, berjalan memasuki penjuru angin. Menyimak setiap tebaran garis alam. Membuat ukuran langkah dengan nyali.
Ruang itu tak memberiku batas tegas. Tak ada satupun kutemui angka. Hanya deretan catatan diri yang menempel pada dinding waktu.
Di setiap simpang aku berusaha mencari perhentian. Menakar energi yang menguap dari tubuhku saat berkelahi dengan bara jiwa yang tak pernah padam. Tapi cakrawala tak juga menawarkan janji batasnya.
Aku terus berjalan. Keluar masuk bianglala. Berbicara pada setiap penjuru angin. Mereka katakan aku tertipu cakrawala. Tapi aku tak percaya karena ia berteman baik dengan ruang hati. Keduanya sebaya. Tumbuh bersama dari lubang waktu.
Aku masih di teras penjuru angin. Belum sampai kata berpamit. Tiba-tiba terlihat satu petanda aneh. Akupun tersadar dan yakin disitulah batas cakrawala. Ternyata ia bersembunyi pada diriku sendiri yang selama ini susah payah kudefenisikan.
-----
Pebrianov07/08/2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H