[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar ; http://4.bp.blogspot.com/-sZTuiGJ7Oyc/UBqmF2dt01I/AAAAAAAACyY/ws9BHkUSP9w/s1600/pemimpin.jpg"][/caption]
Penggunaan issue Sara dalam persaingan politik di Indonesia selalu menarik disimak. Takdir keberbedaan suku, ras, agama, golongan sebagai sebuah bangsa besar menjadikan SARA tampil seksi untuk mengoyak konsentrasi persatuan dan sesatuan sesama anak bangsa.
Meniru politik SARA dari Kolonial
Penjajah Kolonial sangat seksinya SARA di negeri ini, sehingga dengan cerdik mereka terapkan politik adu domba dan isue SARA untuk menguasai bangsa ini selama ratusan tahun.
Kini bangsa ini telah merdeka dan jadi sebuah kesatuan bangsa yang kuat, namun dalam persaingan politik, sebagaian anak bangsa dengan bangga meniru cara Kolonial penjajah untuk memenangkan politiknya.
Mereka telah belajar banyak dari Penjajah untuk memenuhi hasrat politiknya. Para arwah penjajah jaman Kolonial mungkin tersenyum bangga karena ada penerus politik SARA di negeri majemuk ini yang justru kini dilakukan anak bangsa.
Peniruan yang Tepat?
Bangsa Jepang yang kalah perang, mereka meniru bangsa Amerika yang lebih maju untuk kemudian bangkit menjadi bangsa besar dan disegani dunia. Sementara ada anak bangsa ini meniru politik SARA dari penjajahan Belanda untuk kemudian dijadikan alat menjajah bangsa sendiri. Mungkin dia berfikir daripada dijajah bangsa luar lebih baik dijajah anak bangsa sandiri. Jadi ada nilai kemandirian sebagai anak bangsa.
Penggunaan SARA di Media
Dari waktu ke waktu selalu ada wacana baru berbau SARA ditampilkan ke ruang publik. Bentuknya beragam, salah satunya adalah membuat pernyataan dan artikel di media. Contoh, mengagungkan ras atau kelompok sendiri sekaligus melakukan pelecehan pada ras atau kelompok lain sesama anak bangsa. Seolah ras atau kelompok lain itu hina, dan tidak punya peran bagi pembangunan negara.
Artikel bernuansa SARA seringkali memunculkan perdebatan sengit dari publik pembaca. Makin tinggi kemarahan publik atau pembaca maka makin senang dan bangga-lah si Penulis tersebut. Kalau perlu tampilkan kata-kata kotor dengan sebutan nama hewan, alat kelamin, dan makian kepada leluhur pada sesama penulis atau pembaca lainnya.