Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dalam Mimpi

15 Maret 2016   05:47 Diperbarui: 15 Maret 2016   06:45 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar : http://www.yohanessuprapto.com/images/mimpi.jpg"][/caption]

Selalu ada kejutan. Tanpa rangkaian logika dan etika. Setidaknya terlihat di mata kami, orang awam. Semua melompat dari sequen satu ke sequen berikut melewati jejeran sequen disampingnya. Entah, apakah mata awam yang lalai, atau ketakmampuan hati menerima satu kejadian ke kejadian lain.

Namun bagi pelaku politik, tak ada kejutan selain sebuah perhitungan matang, dan membacanya sebagai strategi. Ada narasi didalamnya yang menjadikan setiap diri pelakunya tak mati akal.

Sementara para awam mencari-cari, tergagap-gagap mengeja deret narasi itu. Seringkali ada kata yang hilang, atau muncul sejenak tapi kemudian hilang diam-diam saat akan menjadi kalimat. Jadilah awam tenggelam dalam diam. Keterpakuan. Dan, Marah! Kemudian berteriak di ruang hampa;

Kau berbohong!
Kau menyesatkan!
Kau tak pernah bersungguh-sungguh memberi kami narasi !

Kau masih dengan senyum yang tak berubah, seperti saat mengurut deret angka di laga suara. Bagimana bisa?

Padahal ketika nanti bertahta, kau minum dari sulingan keringat kami. Makan dari daging kami yang robek, berbumbu darah yang yang muncrat.
Tak cukup satu pembuluh kami putus. Tak terhitung syaraf kami terbelit. Semua itu nyata terlihat di kelopak mata kami yang tertutup.

Sebenarnya para awam tak banyak meminta.
Saat kau mengirup keringat di setiap pori-pori kami yang terbuka pastikanlah nafasmu tidak berbau. Karena itu pertanda lambung dan hatimu tak menyimpan nanah dan bakteri yang bisa menghentikan hidup kami.
-----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun