Mereka tahu, setiap kata selalu lalai menjaga diri. Dan mereka tak mau perduli teriakan kata, kesakitan ataukah merenda kenikmatan. Keduanya punya ruang dan durasi yang sama untuk meraup nikmat.
Kata iblisku, penulis fiksi itu manusia lemah. Kalau lelaki maka dia banci-separuh perempuan. Kalau dia perempuan maka dia adalah perempuan cengeng dan manja. Namun uniknya dia tampil bak ksatria dan istri raja. Membawa kantong air mata yang tersembunyi. Tak pernah bisa habis.
Kata kawan pecundangku, penulis fiksi itu orang-orang bodoh. Dia tak pernah bisa menginjak tanah, bukan karena jijik, tetapi tanah tak lebih sebuah jerat kakinya sehingga dia tak bisa berlari cepat menembus waktu.
Itulah mengapa, aku malu menulis fiksi.
Tapi itu dulu. Tidak saat ini.
Kenapa begitu?
Karena di fiksi aku bisa jujur membohongi diriku. Asal kau tahu, tak semua orang bisa berbohong dengan indah. Dan oleh karenanya iblisku pernah berbisik, penulis fiksi sangat disayang Tuhan.
------
Baca Juga ; Menulis Melawan Gila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H