Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Misteri Kotak Suara PML 904

8 April 2014   04:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah begitu banyak peristiwa politik kontemporer negara ini mengecewakan rakyat banyak, arus informasi telah menempatkan kotak suara seolah menjadi milik para politikus semata.Setiap waktu, yang ada di benak mereka adalah kotak suara dan kotak suara. Selanjutnya adalah kotak suara dan kotak suara. Kemudian dilanjutkan dengan kotak suara. Tak ada yang lebih penting daripada kotak suara. Bahkan pasangan hidup yang selama ini setia mendampingi pun bisa kalah penting dari kotak suara.

Kotak suara kini seolah jadi benda gaib yang menyimpan banyak misteri dan memiliki magnet pesona sangat kuat sehingga harus diperebutkan dengan berbagai cara. Dari yang halal, setengah halal, tidak halal, bahkan yang belum didefenisi sebelumnya oleh pikiran awam. Peristiwa politik yang mengecewakan telah menjadi bukti semua itu.

Eksistensi kotak suara tersebut seolah mengalahkan gaung pemberitaan kotak hitam pesawat yang hilang.Karena bagi para politikus, kotak suara dianggap menentukan nasib dan martabat mereka di lima tahun kedepan. Yang dipentingkan adalah isi kotak suara itu harus penuh dengan kertas yang tercoblos dirinya. Tak penting dimana coblosan itu,mau di pipi, di mata, di jidat atau di mulut. Yang penting saat dibuka dan hitung harus sah secara undang-undang pemilu.

Daya magnet kotak suara telah membuat sebagian orang menjadi setengah tidak waras. Mereka menciptakan teori-teori matematis dadakan, hitung-hitungan, gatuk-gatukkan, ramal-ramalan, prediksi-prediksian layaknya togel di pangkalan ojek. Entah apalagi istilah yang dialamatkan pada kotak suara yang sudah tersebar dimana-mana.Bagi mereka, tak apalah sekarang dianggap tidak waras, karena nanti toh -kalau menang- akan kembali waras lagi. Kalau sebaliknya? Itu nanti saja urusannya.

Kalau saja kotak suara itu benda hidup, mereka mungkin akan berbondong-bondong mengajak kencan kemudian diselingkuhi secara paripurna. Semua kebutuhannya dipenuhi, dimanjakan dengan aneka hadiah dan janji. Kalau perlu dikawini di bawah tangan, di atas kaki atau seputaran pinggang. Tak perduli jenis kelamin si kotak suara. Syukur-sukur kalau berlainan jenis. Kalau pun sama jenis, anggap saja sebagai selingan sensasi nikmat.

Kotak suara itu akan selalu diajak bicara dari hati ke hati, dari nomor rekening ke nomor rekening, serta dari dompet ke dompet. Segala rayuan maut akan dikeluarkan untuk keuntungan di depan mata, membangun hubungan bilateral secara murni dan konsekuen. Bahkan kalau bisa, kotak suara itu disembah layaknya benda keramat yang mampu mengantar mereka pada kesaktian. Untunglah si kotak suara merupakan benda mati yang sombong.

Isi kotak suara yang berlimpah coblosan diharapkan dapat menciptakan martabat diri, keluarga, golongan dan mungkin saja menjadi tren selingkuhan baru. Sehingga harus diperjuangkan sampai titik waras penghabisan.

Padahal sejatinya, sinyal yang terpancar dari kotak suara tersebut adalah suara rakyat yang penuh harap untuk lima tahun ke depan, bukan semata nasib pribadi si politikus. Jadi yang harus diperjuangkan sudah jelas untuk kepentingan rakyat banyak.

Kita semua tentu berharap sinyal suara rakyat yang terdapat di dalam kotak suara Pemilu 9 April (PML 904) tidak semakin melemah dibandingkan hiruk-pikuk manuver para politikus pencari kotak suara yang tak mau mendengarkan sinyal tersebut.Karena bagi semua orang, sinyal itu kini bukanlah lagi sebuah misteri gaib. Masyarakat sudah semakin cerdas memahami hak-hak mereka yang berada di dalam kotak suara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun